Saturday, April 19, 2008

hak konstitusional untuk jama'ah Ahmadiyah ?

Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) telah mengeluarkan putusan yang menyebutkan bahwa aliran Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Untuk itu Bakor Pakem merekomendasikan agar jama'ah AHmadiyah di Indonesia diperingatkan untuk membubarkan diri dan merubah keyakinannya yang dianggap melenceng tersebut, serta kembali ke ajaran yang benar. Keyakinan sesat dari Jama'ah Ahmadiyah ini yaitu keyakinan bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam bukanlah nabi terakhir, tetapi yang menjadi nabi terakhir adalah Mirza Ghulam Ahmad (pendiri AHmadiyah). Peringatan tersebut nantinya dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.

Keputusan Bakor Pakem ini mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa putusan Bakor Pakem ini nanti yang selanjutnya akan ditindaklanjuti Pemerintah dengan mengeluarkan SKB Jaksa Agung, Menag dan Mendagri yang akan melarang Jama'ah Ahmadiyah 'hidup' di Indonesia, sama saja dengan mematikan hak konstitusional yang dimiliki oleh Jama'ah Ahmadiyah selaku warga negara yaitu hak untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Mereka mendalilkan hal ini dengan bunyi pasal 29 UUD 1945 pasal 29 yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Juga pasal 28I yang berbunyi "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun". Dengan kata lain, penerbitan SKB oleh Pemerintah yang nanti akan melarang adanya Jama'ah Ahmadiyah di INdonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan sekaligus mematikan hak konstutisional warga Ahmadiyah. Hal ini juga akan membuka kemungkinan adanya pengajuan Judicial Review SKB pelarangan AHmadiyah ini (kalau memang akhirnya dikeluarkan) ke Mahkamah Konstitusi.


Pertanyaannya sekarang adalah : Apakah pendalilan mereka dengan menggunakan pasal 29 UUD 1945 dan pasal 28I untuk "membela" jama'ah AHmadiyah ini sudah benar dan tepat?

Tentu tiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dengan argumentasi masing-masing. Dan dalam hal ini apabila memang ada pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tentu penafsiran
Mahkamah Konstitusilah yang akan dipakai sebagai "pemutus" perbedaan penafsiran pasal dalam UUD karena putusannya bersifat final dan mengikat, sesuai dengan pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum".

Tentu di alam "demokrasi" Indonesia ini sah-sah saja bagi setiap orang untuk memberikan pendapat dan analisis atas suatu hal. Tentu saja pendapat yang dikemukakan bukanlah pendapat yang "ngawur" ataupun tanpa argumentasi dan dasar pijakan pemikiran yang kuat.

Menurut saya pemahaman atas jaminan kebebasan beragama sebagaimana yang diatur dalam pasal 29 itu adalah dalam konteks pemberian kebebasan untuk beragama bagi pemeluk suatu agama secara keseluruhan, bukan jaminan untuk "bebas beragama dengan metode tertentu" bagi kelompok-kelompok dalam satu kelompok agama yang bersangkutan, apalagi dalam kondisi dimana ada satu kelompok minoritas yang metode beragamanya telah melenceng dari metode beragama yang telah disepakati oleh mayoritas kelompok lain yang berada dalam agama yang sama yang telah menyepakati suatu kaidah dasar atau sumber hukum agama yang bersangkutan.

Apa yang saya katakan di atas bisa diilustrasikan dalam konteks permasalahan mengenai Ahmadiyah ini. Kaum muslim telah sepakat bahwa sumber hukum Islam adalah Kitab Suci Al Quran dan Sunnah Rasulullah
shalallahu 'alaihi wassalam yang tertuang dalam hadist-hadist beliau yang shahih. Nah, salah satu kesimpulan yang diambil dari kedua sumber hukum Islam ini adalah bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam adalah Rasul sekaligus Nabi terakhir. Hal inilah yang diiingkari oleh Jama'ah Ahmadiyah. Sebagai catatan, jama'ah Ahmadiyah ada 2 golongan. Golongan pertama adalah mereka yang tetap mengakui Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam sebagai nabi terakhir dan hanya menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai "guru" mereka. Golongan kedua adalah mereka yang tidak mengakui Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam sebagai Nabi terakhir, tetapi Mirza Ghulam Ahmad. Tentu yang kita bicarakan dan dipermasalahkan di sini adalah jama'ah Ahmadiyah golongan kedua.

Memang cukup menarik untuk menafsirkan ke mana arah penjelasan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 ini mengingat tidak diatur secara eksplisit mengenai apakah jaminan kebebasan beragama ini berlaku dalam konteks untuk satu agama keseluruhan ataukah termasuk kelompok-kelompok dalam agama bersangkutan walaupun di antara kelompok itu terjadi perbedaan dan kontradiksi yang sangat tajam dalam persoalan elementer dalam kondisi dimana sumber hukum agama yang bersangkutan (yang telah disepakati) sudah jelas-jelas mengatur tentang masalah yang diperselisihkan itu.

Maka dalam hal ini, tidak tepat apabila ada pihak yang mengatakan bahwa hak konstitusional Ahmadiyah akan terlanggar dengan terbitnya SKB tentang pelarangan AHmadiyah, dikarenakan konteks penerapan pasal 29 UUD 1945 tersebut tidak seperti apa yang diperkirakan sebagian orang yang "membela' Ahmadiyah. Begitulah setidaknya menurut saya.

Menarik untuk ditunggu tentang bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 29 ayat 1 UUD 1945 ini.






1 comment:

Anonymous said...

wahhhh artikel yang menarik, Hen...
Btw, link blogku dah ganti ke http://nugraha-id.com. Thanks...