Tuesday, May 20, 2008

KRITIK PROSEDURAL DAN SUBSTANSIAL ATAS PERUBAHAN UUD 1945

Di bawah ini merupakan sebagian tulisan dari dari Prof. H.A. Mukhtie Fadjar, SH, salah seorang Hakim Konsitusi di Mahkamah Konstitusi pada saat pidato pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang tanggal 13 Juli 2002

=============================
Seperti telah disinggung di muka, MPR paska Pemilu 1999 dengan menggunakan kewenangan yang menurutnya dimiliki berdasarkan ketentuan Psl 37 UUD 1945 telah melakukan perubahan-perubahan terhadap UUD 1945, yaitu :
1. Perubahan Pertama (melalui Sidang Umum MPR Tahun 1999) mengubah Sembilan pasal yakni pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13 ayat (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan (3), pasal 20 dan pasal 21. Kalau kita cermati, inti Perubahan Pertama menyangkut dua hal, ialah :
  • Pembatasan kekuasaan Presiden/Wakil Presiden, yakni Presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk UU (Perubahan Psl 5 ayat 1), masa jabatan Presiden/Wakil Presiden maksimal hanya dua periode jabatan (pasal 7), kecuali pengangkatan para Menteri, pengangkatan dan penerimaan duta Negara lain harus mempertimbangkan pertimbangan DPR (pasal 13), pemberian grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (pasal 14 ayat 1), pemberian anesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR (pasal 14 ayat 2)
  • Pemberdayaan DPR, yakni penegasan bahwa DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk UU (pasal 20 ayat 1) dan juga ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2), pasal 14 ayat (2), dan juga pasal 21 (hak inisiatif DPR)
2. Perubahan Kedua (melalui sidang Tahunan MPT tahun 2000) yang telah mengubah enam pasal (pasal 18, pasal 19, pasal 20 ayat (5), pasal 26 ayat 2, pasal 27 ayat 3, dan pasal 30) dan menambah dengan 17 pasal baru. Inti perubahan yang signifikan menyangkut :
  • Pemerintahan daerah/lokal dengan menganut otonomi seluas-luasnya, pengakuan akan daerah khusus, daerah istimewa, dan kesatuan masyarakat hukum dan adat beserta hak-hak tradisionalnya (pasal 18, 18A, dan 18B)
  • Pengaturan tentang wilayah Negara (pasal 25E) dan penduduk Negara (pasal 26 ayat 2)
  • Penegasan bahwa anggota DPR harus dipilih melalui pemilihan umum (pasal 19 ayat 1), pembatasan waktu pengesahan RUU oleh Presiden jika telah disetujui DPR (pasal 20 ayat 5), penegasan fungsi DPR (pasal 20A)
  • Jaminan konstitusional atas HAM (pasal 28A s/d 28J)
  • Pengaturan tentang Pertahanan dan Keamanan Negara (pasal 30) dengan penegasan bahwa TNI adalah alat pertahanan, sedang kepolisian Negara adalah alat Negara penjaga keamanan
3. Perubahan Ketiga (melalui Sidang Tahunan MPR Tahun 2001) yang mengubah dan atau menambah pasal 1 ayat (2) dan (3), pasal 3 ayat (1), (3) dan (4), pasal 6 ayat (1) dan (2), pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), pasal 27A, pasal 7B ayat (1) s/d (7), pasal &C, pasal 8 ayat (1) dan (2), pasal 11 ayat (2) dan (3), pasal 17 ayat (4), pasal 22C ayat (1) s/d (4), pasal 22D ayat (1) s/d (4), pasal 22E ayat (1) s/d (6), pasal 23 ayat (1),(2) dan (3), pasal 23A, pasal 23C, pasal 23E ayat (1), (2) dan (3), pasal 23F ayat (1)dan (2), pasal 23G ayat (1) dan (2), pasal 24 ayat (1) dan (2), pasal 24A ayat (1) s/d (5), pasal 24B ayat (1) s/d (4), dan pasal 24C ayat (1) s/d (6), dengan inti perubahan sebagai berikut :
  • Kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya di tangan MPR pelaksanaannya, melainkan menurut UUD (pasal 1 ayat 2)
  • Penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3)
  • Penegasan wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, jadi tidak lagi menetapkan GBHN (GBHN tidak ada lagi karena Presiden dipilih langsung) (pasal 3 ayat 1)
  • Presiden/Wakil Presiden Indonesia tidak lagi harus orang Indonesia asli (pasal 6 ayat 1)
  • Prinsip bahwa Presiden/Wakil Presiden dipilih secara langsung dalam satu pasangan calon (pasal 6A)
  • Alasan dan tata cara pemberhentian Presiden/Wakil Presiden karena alasan pelanggaran hukum pidana berat dan peranan dari Mahkamah KOnstitusi (pasal 7B)
  • Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membekukan/membubarkan DPR (pasal 7C)
  • Masalah penggantian Presiden/Wakil Presiden jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan dan tidak dapat melakukan kewajiban (pasal 8)
  • Penegasan tentang kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (pasal 22C dan 22D)
  • Ketentuan mengenai Pemilihan Umum (pasal 22E)
  • Ketentuan tentang BPK yang diatur dalam bab tersendiri (bab VIIIA)
  • Tentang kekuasaan kehakiman dengan adanya penegasan sebagai kekuasaan yang merdeka, kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kompetensinya, tentang Komisi Yudisial, dan tentang hak uji (pasal 24, 24A, 24B dan 24D)
Menurut rencana, Perubahan Keempat yang akan dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 akan berkaitan dengan susunan keanggotaan MPR, pemilihan Presiden/Wakil Presiden putaran kedua, tentang DPA, kekuasaan kehakiman lainnya, masalah agama, pendidikan, dan kebudayaan, masalah perekonomian dan kesejahteraan sosial, masalah perubahan UUD, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan.
Dari perubahan-perubahan dan rencana perubahan tersebut, Perubahan Ketiga dan Rancangan Perubahan Keempat yang menimbulkan pro dan kontra karena menyangkut hal-hal yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Terhadap perubahan-perubahan UUD 1945 yang telah dan akan dilakukan oleh MPR dapat dilakukan kritik yang menyangkut prosedural dan substansial sebagai berikut :

A. KRITIK PROSEDURAL

  • Meskipun pasal 37 jo. Pasal 3 UUD 1945 (asli) tidak mengkaidahkan secara tegas institusi Negara yang berwenang melakukan perubahan terhadap UUD, tetapi dari perubahan pertama, perubahan kedua dan perubahan ketiga, serta rancangan perubahan keempat, MPR beranggapan bahwa dirinyalah yang paling berwenang melakukan perubahan. Kritik atas kewenangan MPR ini, terutama dari kalangan yang menghendaki perubahan dilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi yang independen, dijawab oleh MPR dengan mengubah pasal 3 UUD 1945 dengan menambahkan kewenangan MPR untukmengubah UUD, di samping kewenangan untuk menetapkan UUD (perubahan ketiga)
  • Karena mekanisme perubahan tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, maka sesungguhnya penyiapan rancangan perubahan UUD 1945 dapat diserahkan kepada sebuah Komisi Konstitusi yang independen seperti yang pernah dikemukakan oleh Presiden Megawati dan kalangan Koalisi Ornop, serta berbagai kalangan pakar konstitusi, seperti halnya pada masa Orde Baru dulu yang menyerahkan tugas menyiapkan GBHN kepada Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas). Penyerahan tugas menyiapkan Rancangan Perubahan kepada BP MPR khususnya PAH I di mana para anggotanya mayoritas adalah anggota DPR yang penuh kesibukan dengan tugas-tugas lain dan sarat kepentingan politik jangka pendek masing-masing fraksi MPR, sungguh tidak tepat, ibarat menyerahkan kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara yang menyangkut dirinya sendiri.
  • Pilihan MPR untuk menganut model atau sistem AMandement Amerika Serikat dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, ternyata tidak diikuti secara konsisten, karena perubahan yang telah dilakukan sebenarnya telah bergeser ke perubahan naskah, mengingat cukup banyak pasal yang dirubah dan cukup mendasar perubahannya, sehingga telah mengubah seluruh sistem ketatanegaraan yang ada. MPR sebenarnya telah melakukan Renewal terhadap UUD 1945, bukan amandemen UUD 1945, hanya masih setengah hati.

B. KRITIK SUBSTANSIAL

Kritik yang dilakukan oleh banyak kalangan ahli bahwa MPR dalam melakukan perubahahan substansi UUD 1945 tidak memiliki paradigma tertentu ternyata terbukti. Kalangan MPR sering menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 MPR berpegang pada lima kesepakatan fraksi-fraksi , yaitu :
  1. Perubahan tidak dilakukan terhadap Pembukaan UUD 1945;
  2. Tetap dianutnya bentuk negara kesatuan;
  3. Tetap dianutnya sistem pemerintahan Presidensial;
  4. Dihapuskannya Penjelasan UUD 1945 dengan memasukkan hal-hal yang bersifat normatif ke dalam Batang Tubuh; dan
  5. Dianutnya sistem perubahan menurut model adendum/amandement Amerika Serikat
Seorang anggota MPR dalam suatu forum di LIPI tahun 2000 menyatakan bahwa paradigma perubahannya ya Pembukaan UUD 1945 itu sendiri, tetapi ternyata Pembukaan UUD 1945 tetap hanya menjadi sekedar “pajangan” tidak di break down dalam pengkaidahan di Batang Tubuh.

Beberapa kritik substansial dapat dikemukakan sebagai berikut :
  1. Pergeseran kekuasaan membentuk UU dari tangan Presiden ke DPR (perubahan pertama) mestinya dengan kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD, dalam perubahan ketiga) kekuasaan legislatif itu juga ada pada DPD bersama DPR. Suatu kecenderungan pergeseran dari executive heavy ke legislative heavy juga muncul dalam perubahan-perubahan ini, seperti pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, duta besar dan lain-lain yang perlu persetujuan DPR.
  2. Tetap ingin mempertahankan NKRI, tetapi nuansa federalisme nampak pada pengkaidahan mengenai Pemerintahan Daerah (perubahan pasal 18 dan penambahan pasal 18A dan 18B). Juga nuansa bikameralisme dalam sistem lembaga perwakilan (kehadiran DPR dan DPD dalam representasi di MPR) mencerminkan kecenderungan federalisme yang dianut (sistem bikameral lazim dianut di negara-negara yang berbentuk serikat/federal)
  3. Keinginan mempertahankan sistem presidensial dengan perubahan pengkaidahan dalam cara memilih presiden dan sistem impeachmentnya tetapi masih ingin keberadaan MPR tidak berubah sebagai lembaga super.
  4. Dualisme sistem pengujian peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan juga MPR.
  5. Ingin menghapus penjelasan UUD 1945, tetapi beberapa rumusan pasal-pasal perubahan tetap belum jelas.
  6. Rumusan pasal-pasal mengenai HAM masih sekedar mengangkat apa yang sudah dimuat dalam ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 dan UU No 39 Tahun 1999 dalam Konstitusi tanpa memperhatikan ketepatan dan relevansinya, di samping masih menganut asas non-retroaktif (pasal 28I ayat 1) sehingga tidak memungkinkan diadilinya kejahatan kemanusiaan masa lalu, suatu hal yang telah ditinggalkan di banyak negara.
  7. Masih meletakkan supremasi hukum di bawah supremasi politik yang ditunjukkan dalam pengkaidahan mengenai kompetensi Mahkamah Konstitusi dan kaitannya dengan peran yang tetap dominan di MPR dalam persoalan impeachment terhadap Presiden/Wakil Presiden yang melakukan kejahatan-kejahatan pidana berat.
  8. Masih banyak rumusan-rumusan yang terbuka untuk multi interpretasi, seperti rumusan dalam pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan dan juga pasal 7A.
  9. Seperti halnya konstitusi di beberapa negara (misal Perancis, Italia) jika ada prinsip-prinsip yang ingin terus dipertahankan, seyogyanya dimasukkan saja di dalam konstitusi seperti larangan untuk merubah bentuk pemerintahan republik. Naskah rancangan perubahan pasal 37 ayat (5) dan catatan untuk pasal 25E (pemisahan wilayah) dengan kemungkinan melalui referendum akan sangat rawan dan bertentangan dengan komitmen mempertahankan NKRI.


No comments: