Monday, June 30, 2008

KONVENSI DAN KONSTITUSI DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN DI INDONESIA

Oleh :

Prof.Dr.H.Dahlan Thaib, SH. M.Si, dkk


Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperti convention of the constitution.

Dicey seorang sarjana Inggris yang mula-mula mempergunakan istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara (Constitutional Law) yang terdiri atas dua bagian, yaitu1 :

  1. Hukum Konstitusi (The Law of The Constitution) yang terdiri dari :
  • Undang-undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law)
  • Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim (judge-made maxims) dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional)
2. Konvensi-konvensi ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Dari apa yang dikemukakan oleh AV Dicey tersebut jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi cirri-ciri sebagai berikut :

  1. Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan
  2. Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan Negara
  3. Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan

Adapun contoh konvensi ketatanegaraan (convention of the constitution) adalah meliputi :

  1. Raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen
  2. Majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan (money bill)
  3. Menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan dari majelis rendah

Semua contoh tersebut dalam kehidupan ketatanegaraan diterima dan ditaati, walaupun ia bukan hokum (law) dalam arti sebenarnya.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan Negara.

Penyelenggara Negara itu adalah alat-alat perlengkapan Negara atau lembaga-lembaga Negara. Dalam UUD 1945 sudah cukup jelas ketentuan-ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga Negara. Berikut ini akan dibahas tentang konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

  1. KONVENSI DAN UUD 1945

Penjelasan Umum UUD 1945 (catatan : setelah adanya amandemen UUD 1945, terakhir yaitu amandemen ke-empat pada tahun 2002 maka bagian penjelasan sudah ditiadakan sehingga UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh) secara tegas menyatakan bahwa : "Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis…"

Menggarisbawahi Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia selain dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis. Kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan kaidah-kaidah hukum yang tertulis.

Di dalam khasanah ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara aturan-aturan dasar yang tidak tertulis itu disebut konvensi sebagaimana dijelaskan di atas. Sedangkan konstitusi dalam pengertian yuridis adalah suatu naskah tertulis yang mengatur keorganisasian negara yang di dalamnya memuat semua bangunan negara, dan sendi-sendi Sistem Pemerintahan Negara.

Permasalahan yang sering dipertanyakan ialah bagaimana hubungan konstitusi atau UUD 1945 dengan konvensi. Mengapa ada konvensi di samping konstitusi (UUD 1945)? untuk menjawabnya perlu UUD 1945 itu sendiri sebagai rujukan. Nah, bila penjelasan umum UUD 1945 dipahami dalam realita konstitusional, maka tak dapat tidak kehadiran konvensi merupakan kelengkapan bagi konstitusi atau UUD 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman.

Perlu diketahui bahwa hampir semua negara-negara modern di dunia di samping mempunyai konstitusi (UUD yang tertulis) dalam praktik penyelenggaraan negara mengakui adanya apa yang disebut konvensi. Konvensi selalu ada pada setiap sistem ketatanegaraan, terutama pada negara-negara demokrasi.

Untuk Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa konvensi tidak dapat diimpor dari sistem ketatanegaraan negara lain yang mungkin berbeda asas dan karakternya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem parlementer yang telah berurat berakar dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara barat, sudah barang tentu tak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.

DI atas telah disinggung, UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum-hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan yang dinamakan konvensi. Hal ini tentunya tak lepas dari pandangan modern para penyusun UUD 1945 yang melihat hukum konstitusi dalam pengertian luas, yang mencakup baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Di samping itu keterikatan UUD 1945 pada konvensi dikarenakan sifat UUD 1945 itu sendiri sebagai "singkat dan supel". UUD 1945 hanya memuat 37 pasal. Dalam kaitan inilah Penjelasan UUD 1945 mengemukakan : ".... kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, dan melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia ..."

Dari bunyi penjelasan tersebut maka tidak dapat tidak dalam rangka menampung dinamika tersebut dan melengkapi hukum dasar tertulis yaitu UUD 1945 yang singkat, maka kiranya konvensi merupakan salah satu alternatif rasional yang harus dan dapat diterima secara konstitusional dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia. Maka sesuai dengan amanat UUD 1945 kiranya tidak berlebihan apabila melalui konvensi-konvensi diharapkan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan berkembang ke arah masyarakat modern dapat tertampung.

Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas dapat diketahui bagaimana peranan konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem UUD 1945.


2. KONVENSI DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA DEWASA INI

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yaitu sejak ditetapkan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, tercatat adanya beberapa konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945 yaitu sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, maupun kurun waktu kedua yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai sekarang, dapat kita telusuri terjadinya berbagai konvensi ketatanegaraan di Indonesia. Sebagaimana telah disinggung di atas hadirnya konvensi adalah hal yang wajar, karena UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu dengan digantinya Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Akibat perubahan itu kekuasaan eksekutif yang semula berada pada Presiden Soekarno beralih kepada Perdana Menteri (Syahrir). Terlepas dari adanya anggapan bahwa perubahan disebut adalah penyimpangan dari Kabinet Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, namun menurut Menteri Penerangan RI pada waktu itu perubahan sistem tersebut adalah ditimbulkan dengan cara kebiasaan politik (convention). Perubahan ke arah sistem parlementer ini tidak diatur oleh UUD 1945, melainkan karena konvensi ketatanegaraan. Dalam bukunya Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Prof.Soepomo menyatakan dengan Kabinet Syahrir telah timbul konvensi ketatanegaraan mengenai Kabinet Parlementer.

Dalam kurun waktu kedua berlakunya kembali UUD 1945, yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sejarah ketatanegaraan Indonesia juga mencatat adanya konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Seperti kita ketahui, pada periode Orde Lama, setiap tanggal 17 Agustus Presiden Republik Indonesia, mempunyai kebiasaan untuk berpidato dalam suatu rapat umum yang mempunyai kualifikasi tertentu, seperti rapat raksasa, rapat samodra dan lainnya. Dalam pidato itu dikemukakan hal-hal di bidang ketatanegaraan. Namun di bawah Orde Baru kebiasaan di atas telah ditinggalkan, sebagai gantinya pada setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di bawah pemerintahan Orde Baru telah diikrarkan tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Hal ini berarti juga UUD 1945 harus dilestarikan. Upaya pelestarian ditempuh antara lain dengan cara tidak memperkenankan UUD 1945 untuk diubah. Untuk keperluan itu telah ditempuh upaya hukum antara lain :

  1. Melalui TAP No.1/MPR/1983, pasal 104;

"Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen"

2. Diperkenalkannya "Referendum" dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia lewat TAP No.IV/MPR/1983 untuk memperkecil kemungkinan mengubah UUD 1945.

Persoalan yang muncul ialah di satu pihak secara formal UUD 1945 harus dilestarikan dan dipertahankan dengan tidak mengubah kaidah-kaidah yang tertulis dalam UUD 1945 itu sendiri. Di pihak lain diakui, bahwa UUD 1945 seperti yang terdapat dalam Penjelasan : "Memang sifat aturan itu singkat. Oleh karena itu, makin supel (elastis) sifat aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem Undang-undang Dasar jangan sampai ketinggalan jaman". Bagaimanakah mempertemukan kedua prinsip tadi? Di satu pihak UUD 1945 tidak boleh diubah, di pihak lain harus dijaga supaya sistem UUD 1945 jangan sampai ketinggalan zaman.

Menghadapi kedua prinsip ini, jalan yang harus ditempuh adalah mengatur cara melaksanakan UUD 1945. Salah satu bentuk ketentuan yang mengatur cara melaksanakan UUD 1945 adalah konvensi. Di sinilah arti dinamik dari gagasan melestarikan UUD 1945, artinya mempertahankan agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Maka pada periode Orde Baru, sejak tahun 1966 terdapat beberapa praktik ketatanegaraan yang dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Contoh konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, yang sedang berjalan :

  1. Praktik di Lembaga Tertinggi Negara bernama Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
  2. Seperti telah diuraikan di atas yaitu pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR yang di satu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu di hadapan Sidang Paripurna DPR. Karena presiden tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak Orde Baru.
  3. Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang aka datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal 3 UUD 1945 MPR-lah yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan GBHN. Namun untuk memudahkan MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantika anggota-anggota MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
  4. Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR, perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu". Penjelasan oleh Presiden mengenai RUU tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting, karena keuangan negara itu menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian penjelasan UUD 1945.
  5. Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa : "menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan". Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam praktik ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada era pembangunan dewasa ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita dewasa ini. Tidaklah dapat diartikan bahwa adanya Menteri Negara Nondepartemen mengubah UUD 1945. Karena barulah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 apabila prinsip-prinsip konstitusional yang dianut telah bergeser, misalnya menteri-menteri kedudukannya tidak lagi tergantung presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Dalam hal ini misalnya menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya tergantung DPR.
  6. Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum pernah menggunakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, meskipun Rancangan Undang-undang itu telah mengalami berbagai pembahasan dan amandemen di DPR. Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah (Presiden) sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari presiden c.q pemerintah. Maka pengesahan Rancangan Undang-undang oleh Presiden sangat dimungkinkan karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah.

Demikianlah beberapa contoh yang sedang berjalan dalam praktik penyelenggaraan negara di masa Orde Baru yang dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan. Praktik-praktik ketatanegaraan tersebut jelas tidak bertentangan dengan UUD 1945 bahkan sebaliknya konvensi-konvensi konstitusional tersebut merupakan pelengkap UUD 1945. Sehingga dengan demikian konstitusi kita UUD 1945 dapat lebih operasional untuk menyongsong masa depan kehidupan ketatanegaraan, sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan dari suatu masyarakat yang membangun dan modern.

Saturday, June 28, 2008

HAK MENGUJI DALAM TEORI DAN PRAKTEK

oleh Harun Alrasid

1. Latar Belakang Sejarah
Pada waktu penyusunan UUD 1945, masalah hak menguji oleh Hakim (toetsingsrecht van de rechter) yang di Amerika Serikat disebut dengan istilah “judicial review”, menjadi bahan perdebatan dalam sidang pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 15 Juli 1945, ketika Supomo menanggapi usulan Yamin “Tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar . . . “

Usul Yamin itu ditolak oleh Supomo dengan mengemukakan dua alasan; Pertama, Supomo menganggap soal hak menguji berkaitan dengan paham demokrasi liberal dan trias politika yang tidak dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Dia menyatakan:
Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang”.

Selanjutnya Supomo mengatakan :
“... dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”

Alasan Supomo yang kedua ialah sebagai berikut:
Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Nyatalah, bahwa alasan Supomo yang kedua itu sifatnya kondisional. Kalau sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka dapat saja dilakukan hak menguji (toetsingrecht, judicial review), baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah Konstitusi.
Mengenai alasan Supomo yang pertama, memang sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menganut teori trias politica secara murni. Kita tidak memakai sistim “checks and balances” yang merupakan implementasi teori trias politika sehingga kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan untuk mengawasi kekuasaan membentuk undang-undang. Namun, terlepas dari soal demokrasi liberal dan trias politika, sebenarnya hak menguji itu inheren dengan tugas hakim. Seperti dikatakan oleh Prof. Kleintjes, hak menguji itu, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat pada tugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakim, yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban. Perlu dicatat bahwa Dokter Radjiman, sebagai Ketua Badan Penyelidik, mengajukan masalah hak, menguji itu kepada sidang yaitu apakah akan menerima atau menolak usulan Yamin. Namun dalam notulen sidang ternyata hasilnya tidak dicantumkan (atau mungkin juga dihilangkan).

2.Posisi Mahkamah Agunq/Mahkamah Konstitusi

Arti Hak Menguji

Dengan tidak tercantumnya hak menguji dalam UUD 1945, Prof.Wolhoff memberikan pendapat yang senada dengan Prof. Kleintjes. Wolhoff mengatakan :
"Yang menarik perhatian ialah bahwa Konstitusi 19 Agustus 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang kepada Hakim untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi. Bahwa undang-undang dapat melarangnya kepada Hakim sukar diperta-hankan dan karena itu Konstitusi ini membuka kemungkinan bahwa Mahkamah Agung -sebagai Hakim kasasi- berkembang menjadi “Interpreter of the Constitution” seperti “Supreme Court” di U.S.A.”

Jadi, Wolhoff berpendapat bahwa pembuat undang-undang tidak boleh melarang hakim untuk melakukan pengujian, sehingga Mahkamah Agung, sebagai penafsir konstitusi berwenang menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar, yang notabene derajatnya lebih tinggi daripada undang-undang. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung disebut sebagai “The guardian of the Constitution”. Perlu dicatat bahwa istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review”. Kalau kita berbicara mengenai “hak menguji”, maka orientasinya
ialah ke kontinental Eropah (Belanda), sedangkan “judicial review” orientasinya ialah ke Amerika Serikat.

Dalam literatur hukum Belanda dan Indonesia, istilah “hak menguji” mencakup dua macam pengertian, yaitu formal dan material.Yang dimaksud dengan “hak menguii formal” (formele toetsingsrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah suatu produk legislatif telah dibuat secara sah.
Yang dimaksud dengan “hak menguji material” (materiele toetsingrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah kekuasaan/organ yang membuat suatu peraturan berwenang untuk mengeluarkan peraturan yang bersangkutan, dan, apakah isi peraturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kalau kita menyebut judicial review, maka kita beralih ke sistem peradilan Amerika Serikat. Hakim berwenang membatalkan tindakan pemerintah pusat yang dianggapnya bertentangan dengan undang-undang dasar, baik itu tindakan presiden (eksekutif) maupun tindakan kongres (legislatif), dan juga tindakan pemerintah negara bagian.
Berbicara tentang judicial review tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap kasus yang sangat terkenal dalam dunia hukum Amerika, yaitu “Marbury versus Madison” (1803), yang mengorbitkan nama John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diangkat oleh Presiden John Adams (1801). Dengan bangga Presiden Adams mengenang tindakannya itu dengan mengatakan, “My gift of John Marshall to the people of the United States was the proudest act of my life”. Sebelumnya,John Marshall memangku jabatan Sekretary of States. Komentar PatriciaAcheson terhadap karya Agung John Marshal ialah, sbb:
“singel-mind, brilliant and determined, he set out to strenghthen the federal government and to estabilish once and for all the dignity and supremacy of the supreme court.”

3. Hak menguji dalam Orde Baru

Dalam tata hukum Indonesia, soal hak menguji mula-mula diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26, yang bunyinya;
(1) Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari ndang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Meskipun sudah ada diatur namun kemudian dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tatakerja lembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga-lembaga tinggi negara (yang kemudian diganti oleh Ketetapan MPR No.III/MPR/1978, tanpa perubahan redaksi, Pasal 11 ayat (4) tercantum ketentuan sebagai berikut:
“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.

Kemudian, hak menguji diatur lagi dalam undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam bab III yang berjudul “Kekuasaan Mahkamah Agung”, Pasal 31, terdapat kaidah sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

4. Hak Menguji Dalam Era Reformasi

Dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, terdapat aturan hukum sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.
(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana diimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat. Nyatalah bahwa yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang Dasar (The interpreter of the Constitution) ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sebagaimana lazimnya di manca negara, sedangkan yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang (The Inter-
preter of the Law/Act of Parliament) ialah Mahkamah Agung.
Perlu juga diketahui Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000 tentang Penugasan kepada Badan Pekerja MPR agar mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, khususnya mengenai perubahan Bab IX (Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum), Pasal 25B tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang memberikan putusan pada tingkat pertama dan terakhir atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang, serta menjalankan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

5. Perubahan Ketiga UUD 1945: Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Sebuah tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah dibentuk Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat waktu melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan Mah-kamah Konstitusi bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahnya.
Selain daripada itu, berdasarkan Pasal 24C, ayat (2), juncto Pasal 7B, Mahkamah Konstitusi juga berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus mengenai pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau penbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.7 Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A). Jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.