Sunday, November 30, 2008

Masyarakat Hukum Adat

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Terkait dengan hal itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis menyatakan bahwa salah satu bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum adalah ditentukannya masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengkajian undang-undang terhadap UUD 1945. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Artinya, menurut Jimly Asshidiqqie, untuk dapat menjadi pemohon pengujian undang-undang (UU), kelompok masyarakat adat itu haruslah (i) termasuk ke dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum adat; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri masih hidup; (iii) perkembangan kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud sesuai dengan perkembangan masyarakat; (iv) sesuai pula dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (v) diatur dalam UU. Tentu perlu diperjelas pula kelompok masyarakat yang manakah atau yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan mana yang bukan.

Jimly kemudian berpendapat bahwa harus pula dibedakan dengan jelas antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat itu sendiri. Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu community atau society, sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, kesatuan masyarakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu.

MK dalam pertimbangan putusan perkara 31/PUU-V/2007 tertanggal 18 Juni 2008 yang kemudian diikuti putusan perkara 6/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Juni 2000 berpendapat bahwa menurut kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat (i) teritorial, (ii) genealogis, (iii) fungsional.
Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah, sedangkan ikatan masyarakat hukum adat yang bersifat fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali. Sementara itu, kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial bertumpu kepada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan dan sebagainya.

Karena Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat & prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka MK menentukan kriteria atau tolok ukur terpenuhinya ketentuan UUD 1945, yaitu bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut : 1. Masih hidup; 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 4. Ada pengaturan berdasarkan undang-undang.

Lebih lanjut menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.

MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut :
1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sunday, October 26, 2008

Mendudukkan Soal "Ultra Petita"

oleh : Prof.Dr.Moh.Mahfud MD, SH, SU


Setelah beberapa kali Mahkamah Konstitusi atau MK membuat putusan yang ultra petita (memutus hal-hal yang tidak dimohon), kontroversi tentang boleh-tidaknya ultra petita dalam putusan MK terus bergulir.

Selain yang setuju, banyak pakar dan pekerja profesional hukum, termasuk mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga, berpendapat, MK tak boleh membuat putusan yang mengandung ultra petita tanpa pencantuman di dalam UU.

Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, boleh saja putusan MK memuat ultra petita jika masalah pokok yang
dimintakan review terkait pasal-pasal lain dan menjadi jantung dari UU yang harus diuji itu.

Menurut Jimly, larangan ultra petita hanya ada dalam peradilan perdata. Sedangkan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir
Manan, beberapa waktu lalu, mengatakan, ultra petita dalam putusan MK dapat dibenarkan asal dalam permohonan
judicial review atas isi UU itu pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono (memutus demi keadilan).

Tergantung UU

Dalam asas keadilan, pengadilan dilepaskan dari belenggu "formalitas semata" agar leluasa membuat putusan yang adil
tanpa harus terikat pada ketentuan atau isi permohonan resmi.

Pandangan itu agak tidak sesuai dengan putusan MK sendiri yang pernah membatalkan Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU
Nomor 31 Tahun 1999 mengenai sifat perbuatan melawan hukum secara material dalam hukum pidana.

Namun, masalah ini bisa dibantah dengan mengatakan, peradilan pidana dan peradilan MK itu berbeda. Yang menolak
adanya ultra petita dalam putusan MK berargumen, putusan ultra petita merupakan pelanggaran atas ranah legislatif oleh
lembaga yudikatif karena mencampuri kewenangan mengatur (regeling) yang tidak dipersoalkan.

Sebenarnya kedua pihak yang berhadapan dalam kontroversi itu hanya mendasarkan pandangan dan argumennya
menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut UU. UU tentang MK sama sekali tidak menyebutkan apakah putusan
ultra petita itu dibolehkan atau tidak. Namun, memang saat inilah kontroversi tentang hal ini bisa mulai dikerucutkan dan
dipertemukan dalam satu kesepakatan, sebab saat ini lembaga legislatif sedang menyiapkan RUU tentang Perubahan
UU Mahkamah Konstitusi.

Argumen bahwa MK boleh membuat ultra petita karena larangan untuk itu hanya berlaku dalam peradilan perdata agak
sulit diterima. Dalam hukum, banyak segi yang tidak menyekat secara mutlak berlakunya sesuatu hanya dalam satu
bidang hukum tertentu. Bisa saja, apa yang berlaku dalam satu bidang hukum diberlakukan juga dalam bidang hukum
lain asal diatur dalam UU.

Masalah pembuktian, misalnya, meski urutan prioritasnya berbeda, banyak penyamaan pemberlakuan dalam peradilan
pidana, peradilan perdata, dan peradilan tata usaha negara.

Boleh-tidak berlakunya sesuatu itu tergantung pada bagaimana pembuat UU menyikapi dan menempatkannya dalam UU.
Dengan demikian, putusan ultra petita yang tegas dilarang dalam peradilan perdata bisa diberlakukan dalam peradilan di
MK, asal dimasukkan dalam UU.

Contoh jelas kasus ini adalah pemberlakuan "asas legalitas" yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUH Pidana.
Semula asas legalitas itu muncul sebagai milik dan berlaku dalam hukum administrasi negara saat bidang hukum ini
menyatakan, setiap penarikan pajak harus didasarkan UU sebab penarikan pajak tanpa UU adalah perampokan (no
taxation without representation, taxation without representation is robery).

Setelah selama puluhan tahun asas legalitas berlaku lebih dulu di dalam hukum administrasi negara, kemudian
diberlakukan juga dalam hukum pidana dengan dalil "tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dijatuhi hukuman pidana
sebelum perbuatan itu dinyatakan dilarang di dalam UU".

Jadi apa yang berlaku dalam satu bidang hukum dapat saja diberlakukan di dalam bidang hukum lain selama UU
memberlakukannya.

Batas ranah legislatif
Penulis cenderung menyetujui pendapat, putusan MK tak boleh memuat ultra petita sebab sejak awal MK didesain untuk
mengawal konstitusi dalam arti menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan UUD. Kekuasaan membuat UU
sepenuhnya ada pada legislatif yang merupakan ranah yang tak boleh dilanggar. MK sebagai lembaga yudikatif hanya
boleh menyatakan satu UU atau bagiannya bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi.

Berdasar itu, dalam membuat putusan, MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, tidak boleh
membatalkan UU atau isi UU yang oleh UUD dinyatakan terbuka (diserahkan pengaturannya kepada legislatif), dan tidak
boleh membuat putusan yang ultra petita.

Putusan pembatalan yang ultra petita pada hakikatnya adalah intervensi atas ranah legislatif karena berisi pembatalan
atas apa yang diatur oleh legislatif sesuai kewenangannya, padahal tidak ada pihak yang mempersoalkannya.
Soal adanya masalah bahwa yang di-review ternyata terkait masalah lain di dalam UU, biarlah hal itu menjadi urusan
legislatif untuk menindaklanjuti, tak usah diputus MK. Toh, kalau muncul masalah di pengadilan, dengan sendirinya hakim
akan tahu mana yang masih berlaku dan mana yang tak dapat berlaku karena adanya putusan MK.

Tuesday, October 21, 2008

PRESENTASI

Menyampaikan gagasan melalui presentasi saat ini sudah merupakan bagian dari tugas karyawan kantor baik di instansi pemerintah ataupun swasta. Keterampilan yang tinggi dalam hal ini akan menjadi modal bagi seseorang yang meniti jalur kariernya. Presentasi merupakan media komunikasi lisan untuk menyampaikan pikiran, ide-ide atau keterangan mengenai apa saja yang merupakan tanggung jawab seseorang baik itu merupakan barang atau jasa.

Presentasi juga merupakan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan, karena dari cara seseorang memberikan presentasi dapat dinilai seberapa jauh ia menguasai bidang atau permasalahan yang dikelola oleh yang bersangkutan.

Beberapa kiat-kiat yang bisa dilakukan agar presentasi berjalan dengan sukses, antara lain :
- kenali diri sebelum mengenal orang lain (terutama audiens yang akan menjadi obyek presentasi)
- identifikasi dan atasi hambatan untuk komunikasi yang efektif
- maksimalkan bahasa tubuh untuk hasil komunikasi yang baik (meliputi postur, kontak mata, gerak tubuh, ekspresi/mimik muka)
- kembangkan kecerdasan emosional
- berkomunikasi dengan penuh empati dan antusias
- penguasaan materi presentasi
- pahami cara kerja alat bantu presentasi yang digunakan
- jaga penampilan dan tata cara berbusana
- penggunaan prinsip logis, argumentatif dan persuasif




Saturday, October 11, 2008

motret


iseng-iseng motret di sebuah tempat di pinggir sungai beberapa saat setelah shubuh .....

Sunday, September 28, 2008

Putusan MK atas judicial review UU Peradilan Agama

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 8 Agustus 2008 telah mengeluarkan putusan NOMOR 19/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diajukan oleh pemohon perseorangan yang bernama Suryani, seorang buruh wanita yang beralamat di Serang, Banten.

Dalam amar putusannya tersebut, MK menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Pokok permohonan dari judicial review tersebut adalah bahwa Pemohon merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah”. Pemohon menyatakan bahwa hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Pemohon menganggap bahwa dengan tidak dimasukkannya bidang pidana dalam lingkup kewenangan Peradilan agama membuat yang bersangkutan (dan seluruh umat Islam) merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena merasa telah dibatasi dalam hal menegakkan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah di perintahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Hak konstitusional yang didalilkan oleh pemohon yaitu :

  • Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

  • Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun"

  • Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yg bersifat diskriminatif itu”

  • Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

  • Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Di sini saya hanya akan memberikan komentar atas pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh MK dalam memberikan putusan.



Pertimbangan MK

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya telah merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.

Ketentuan pasal-pasal tersebut jelas menentukan bahwa kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945] sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara termasuk kompetensi absolut untuk masing-masing lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, oleh Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dengan undang-undang.


Komentar

  • Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, pembentuk undang-undang (dalam hal ini adalah DPR) berwenang untuk menentukan susunan, kedudukan , keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya, termasuk peradilan agama yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006. Namun perlu diperhatikan bahwa seyogyanya materi/substansi yang diatur dalam undang-undang tersebut tidak menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Dalam konteks permasalahan yang kita bahas ini, telah nyata bahwa materi dalam UU Peradilan Agama (dalam hal ini adalah mengenai kewenangan Peradilan Agama yang tidak memasukkan bidang pidana dalam cakupan kewenangan) membatasi hak konstitusional warga Negara yang beragama Islam untuk melaksanakan semua aspek dalam kehidupan beragama, termasuk bidang pidana Islam yang tidak dimasukkan dalam cakupan kewenangan peradilan agama. Padahal hak konstitusional warga Negara dalam beragama telah diatur di antaranya dalam pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dan Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Kata-kata “…beribadat menurut agamanya” dalam pasal 28E ayat 1 dan kata-kata “Hak beragama……” dalam Pasal 28I tentu dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara Islam untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk bidang pidana Islam, yang mana hal ini tidak diakomodir dalam UU Peradilan Agama

  • MK seolah-olah hanya melihat permasalahan ini hanya dari sudut pandang bahwa apa yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang telah sah dan sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepadanya, tanpa menelaah lebih jauh apakah materi yang diatur dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga Negara yang dijamin dalam UUD 1945 serta tanpa menelaah hak konstitusional pemohon yang seharusnya diakomodir dan dijadikan sebagai batu uji untuk menilai materi yang tercantum dalam UU peradilan agama (dalam hal ini adalah cakupan kewenangan peradilan agama)

Thursday, September 4, 2008

Konstitusi Buatan Rakyat

oleh : Moh.Mahfud MD (Guru Besar Hukum Tata Negara)

Harus diakui, reformasi 1998 membuat demokrasi kita berkembang lebih bagus. Apa bagusnya? Karena reformasilah kita dapat menggugat dengan keras konstitusi yang berlaku. Ini tak terbayangkan dapat dilakukan pada masa lalu, saat otoriterisme Orde Lama dan hegemoni Orde Baru mencengkeram kehidupan berbangsa kita.

Kala itu kalau ada orang mempersoalkan UUD 1945 dipandang sebagai penjahat, kontrarevolusi, dan subversif, meski persoalannya didekati dari sudut akademis-ilmiah. Kampus-kampus dan para guru besarnya dihadapkan pada dua pilihan: menjadi corong penguasa untuk mengatakan bahwa UUD 1945 itu yang terbaik, atau bertiarap agar tidak dilibas. Tak ada kebebasan akademis, apalagi kebebasan mimbar akademis. 

Dulu negara telah membangun tembok sakralisasi atas UUD 1945 dengan kekerasan yang membabi-buta. Padahal itu salah dan melawan arus sejarah. Seperti kata ahli konstitusi terkemuka, K.C. Wheare, konstitusi itu adalah resultante alias kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pada waktu tertentu, yang jika situasi dan kebutuhan berubah, konstitusi pun bisa, bahkan harus, diubah pula. Tak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya. 

Reformasi 1998 telah merobohkan tembok sakralisasi UUD itu. Sekarang kita sudah bisa mengikuti Wheare, UUD 1945 sudah diubah (diamendemen) secara sah sebanyak empat kali tanpa tekanan dari siapa pun. Dan konstitusi yang sudah diamendemen ini pun membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk mempersoalkannya kembali tanpa harus takut ditangkap. 

Nyatanya, sekarang ini banyak yang mempersoalkan UUD hasil amendemen yang sedang berlaku secara resmi. Ada yang mempersoalkan isinya, ada yang mempersoalkan keabsahan prosedurnya. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, tapi banyak yang ingin mengambil jeda dulu dari menguras energi politik, dan melaksanakan saja UUD yang berlaku sekarang. Jauh lebih banyak lagi yang bersemangat melakukan amendemen kelima dengan alasan mumpung masalahnya masih hangat dan dulu kita melakukan perubahan tanpa pertimbangan yang matang. Menurut pandangan arus besar ini, sekarang saatnya kita berpikir lebih dalam, tidak emosional dan tidak pula terlalu romantis atau sentimental, untuk membuat UUD yang lebih baik lagi. 

Menghadapi situasi ini kita pun tak boleh melawan arus sejarah seperti yang dilakukan oleh Orde Lama dan Orde Baru, melawan arus bahwa perubahan adalah keniscayaan. Kita tak boleh dan tak berhak melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan seperti halnya kita tak boleh melarang orang untuk berpendapat agar kita kembali ke UUD 1945 yang asli. Ini sama tak bolehnya dengan kita melarang orang bergeming pada sikap bahwa hasil amendemen yang ada sekarang sudah maksimal dan bagus dan tak perlu diubah-ubah lagi. 

Semua harus ditampung dan disalurkan melalui proses yang konstitusional agar dapat lahir konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar kehendak rakyat, tanpa manipulasi oleh pandangan sepihak para elitenya. 

Penekanan tentang "konstitusi buatan rakyat" ini penting karena, kalau berbicara perubahan konstitusi, banyak di antara kita yang mengukurnya dengan teori produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang mengatakan konstitusi kita salah karena tak sesuai dengan teori Trias Politika yang asli sebagaimana diciptakan oleh Montesquieu. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti Montesquieu? Kalau Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita tak membuat teori yang sesuai dengan kebutuhan kita sendiri? Lagi pula, yang manakah teori Montesquieu yang asli sebagai sistem ketatanegaraan itu? Bukankah setiap negara membuat modifikasi sendiri-sendiri di dalam konstitusinya?

Ada juga yang mengatakan, salah satu kesalahan konstitusi kita adalah tidak jelasnya sistem perwakilan bikameral dengan prinsip checks and balances seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Karenanya, parlemen kita pincang karena DPD kita mandul. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi, tetapi tanpa harus membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di Amerika Serikat.

Kita berhak penuh untuk membuat teori konstitusi kita sendiri. Hukum tata negara yang berlaku di suatu negara adalah apa pun yang ditulis oleh rakyat di negara itu sendiri di dalam konstitusinya. Itu terlepas dari soal sama atau tidak sama dengan teori tertentu dan tak terkait dengan soal sejalan atau tak sejalan dengan yang berlaku di negara lain.

Sebagai wacana proses pembaruan konstitusi, bisa saja teori, pendapat pakar, dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan sebagai bahan pembaruan. Tetapi kita tak terikat untuk mengikuti itu semua karena kita memiliki tuntutan situasi dan kebutuhan sendiri. 

Mungkin saja ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Itu sah saja sebagai pilihan politik kita sendiri. Yang berlaku tetaplah yang ditulis di dalam konstitusi sesuai dengan politik hukum yang kita pilih sendiri. Dengan sikap dan pandangan seperti itulah kita harus menghadapi tuntutan perubahan kembali konstitusi dengan berbagai variasi alternatifnya.

Kontroversi Vonis Ultra Petita

oleh : Moh.Mahfud MD

Ketua Mahkamah Konstitusi

Sampai pekan ketiga Januari 2007, masalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan putusan yang memuat ultra petita (hal yang tidak diminta pemohon judicial review) menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. 

Isu ini terus mengencang sejak MK mengeluarkan putusan No 03/PUU-IV/2002 yang memuat hal yang tak diminta,yakni membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 (jo UU No 31/1999) menyangkut sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) pada pokoknya menentukan bahwa perbuatanperbuatan koruptif yang tidak dilarang secara tegas atau tak tertulis di dalam UU, tetapi melanggar kepatutan dan rasa keadilan dapat dijatuhi hukuman sebagai tindak pidana korupsi.

Ketentuan inilah yang dibatalkan MK, karena selain bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum (orang bisa dihukum hanya kalau melanggar keharusan atau larangan yang ditentukan di dalam UU), juga hanya dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), padahal menurut UU No 10/2004, penjelasan sebuah UU tak boleh memuat norma baru. Putusan itu kemudian disusul dengan beberapa putusan lain yang memuat ultra petitayang selalu disambut dengan kontroversi sampai berbulan-bulan.

Momentum untuk itu pun memang sedang terbuka,karena saat ini Badan Legislasi (Baleg) DPR sedang menggodok rancangan perubahan (RUU Perubahan) atas tiga UU yang terkait dengan itu,yaitu RUU tentang Komisi Yudisial, RUU tentang Mahkamah Agung, dan RUU tentang Mahkamah Konstitusi. Betul dan bolehkah MK telah membuat ultra petita? Inilah yang akan dibahas dalam dua artikel pendek ini. 

Empat Alasan 

Pada 22–23 Agustus 2006, satu forum expert meeting untuk melakukan eksaminasi (pengujian akademis) atas putusan MK No 03/PUU-IV/2006. Penyelenggara eksaminasi adalah Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM, Partnership Kemitraan, dan Indonesian Court Monitoring (ICM). Perdebatan tentang apakah MK telah benar-benar melakukan ultra petita atau tidak berlangsung sampai dua hari.Semula pendapat para eksaminator masih terpecah. 

Tapi setelah diperdebatkan lagi dengan lebih seru, kesimpulannya tegas: MK telah dengan fatal membuat putusan yang ultra petita.Tim eksaminasi mengajukan empat alasan untuk kesimpulannya itu. Pertama, dari pokok permohonan yang disampaikan secara tegas hanyalah meminta agar Pasal 2 ayat (2),Penjelasan Pasal 2,Pasal 3,Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 sepanjang mengenai ”Percobaan” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (terlihat pada Pokok Permohonan, butir 2) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya (terlihat pada Vonis bagian Pokok Permohonan, butir 3). Di sana jelas bahwa yang diminta hanyalah sejauh menyangkut ”percobaan” (terlihat pada halaman 18). 

Meskipun begitu, dalam permohonannya itu, Pemohon banyak mempersoalkan kata ”dapat” sebagai potensi kerugian negara yang sifatnya spekulatif dan tidak pasti. Sedangkan yang menyoal perbuatan melawan hukum secara materiil sama sekali tidak dipersoalkan, terkecuali terbawa oleh kutipan ketika mempersoalkan kata ”dapat” dan ”percobaan,” (lihat Putusan MK halaman 7-8 Putusan MK) sampai kemudian dipersoalkan dalam pendapat Andi Hamzah sebagai Ahli yang dihadirkan di persidangan. 

Kedua, dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi sendiri (halaman 73) yang menyatakan bahwa yang perlu dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 yang juga dimohonkan pemohon sebagaimana tertulis di dalam petitum permohonannya meskipun pemohon ”tidak memfokuskan argumentasinya” secara khusus yakni tentang perbuatan melawan hukum yang bersifat materiil. Di sini tampak bahwa MK melihat bahwa Pemohon tidak memfokuskan argumentasi pada masalah tersebut meskipun menyebutnya di dalam petitum permohonan. Ketiga, MK salah dalam memandang ini seakan-akan Pemohon mengajukan permohonan, tetapi tidak dengan argumentasi yang fokus. 

Padahal sebenarnya, Pemohon sama sekali tidak memohon peninjauan masalah ”sifat melawan hukum materiil”itu.Penyebutan di halaman 8 posita hanya terbawa oleh kutipan langsung ketika mempersoalkan kata ”dapat”, sedangkan penyebutan Pasal 2 ayat (1) oleh Pemohon di dalam petitum itu pun jelas-jelas hanya terbawa karena menyebut secara langsung Penjelasan dalam konteks lain (yakni dalam konteks khusus kata ”dapat” dan ”percobaan”, bukan dalam konteks sifat melawan hukum materiil). 

Keempat, dalam putusan MK tersebut tampak jelas bahwa permohonan uji materi atas kata ”dapat” dan ”percobaan” sebagai pokok petitum dinyatakan ”ditolak” karena tidak bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan malah sejalan dengan tuntutan perkembangan dan konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi.Tetapi atas kreasinya sendiri, MK telah membuat petitum yang tak diminta dan sama sekali tak diurai dalam permohonan, padahal me nurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan MK No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU-MK, setiap permohonan harus disertai uraian petita yang jelas. 

Karena sama sekali tak ada permohonan uji materi tentang sifat melawan hukum materiil,wajar jika pihak pemerintah dan DPR yang mewakili lembaga legislatif sama sekali tidak mengurai jawaban tentang itu.Dari semua ahli yang dihadirkan,hanya Andi Hamzah yang tiba- tiba berbicara sifat melawan hukum materiil dan itulah yang tiba-tiba juga diambil MK sebagai petita meski tidak dimohon. 

Bahkan, pihak legislatif dan para saksi mengatakan ”seandainya yang dipersoalkan Pemohon adalah sifat melawan hukum materiil”, mereka dapat mengemukakan argumen bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945.Tapi karena masalah itu tak ada dalam gugatan dan mereka tak pernah ditanya tentang itu,mereka tak menyinggungnya. Lho,kok tiba-tiba saja MK membuat ultra petita dengan memutus masalah yang tak diminta itu? Bolehkah itu?

Tuesday, September 2, 2008

Kedudukan Hukum Islam Setelah Amandemen UUD 1945 - Sebuah Jejak Panjang

oleh Prof Dr Ismail Sunny, SH, MCL

Pasca Amandemen, ada beberapa perubahan mendasar yang dilakukan terhadap konstitusi. Hal ini berimplikasi terhadap banyak hal. Termasuk pada kedudukan hukum Islam yang telah sekian lama mewarnai hukum nasional. Yang menjadi pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana keberlakuan hukum tersebut setelah perubahan? Hal ini harus dilacak lebih detail

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memulai dengan kata-kata berikut ini : “Setelah mempelajari, menelaah dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan Negara serta menggunakan kewenangan yang berdasar Pasal 3 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan :

“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan dibelakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”


UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah menurut hukum sebagaimana diundangkan secara resmi dalam Berita Republik Indonesia. (II, 7, h.45-48)


Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 menurut hukum sebagaimana diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara 1959, No.75, Berita Negara 1959, No.69. Dekrit Presiden itu antara lain dalam preambule-nya menetapkan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”. Dekrit itu secara bulat pada tanggal 22 Juli 1959 dilegalisir oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (1)”


Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif

Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia harus dibagi dalam dua periode :
1. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif
2. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif

Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive source dan authoritative source. Sumber persuasif ialah sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority).

Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945, Wet op de Staat inrichting van Nederlands Indie (LS) tidak berlaku lagi. Dengan demikian, teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.

Dengan berlakunya UUD 1945 yang Aturan Peralihan pasal II-nya menetapkan “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” tidak dengan sendirinya Pasal 134 ayat (2) I.S. itu tetap berlaku, karena dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu Undang Undang Dasar yang tidak berlaku lagi tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi suatu Undang-Undang Dasar baru yang sama sekali tidak mengatur soal itu.

Setelah berlaku UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :

(1)  Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.


Selama 14 tahun dari tanggal 22 Juni 1945 (waktu ditandatanganinya gentlement agreement antara pemimpin nasionalis dan pemimpin Islam sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden diundangkan), kedudukan hukum ketentuan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah persuasive source. Sebagaimana semua hasi sidang-sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia adalah sumber persuasif bagi penafsiran UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia juga merupakan sumber persuasif dari UUD 1945 (2).

Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif

Barulah dengan ditetapkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, penerimaan Hukum Islam telah menjadi sumber otoritatif (authoritative source) dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar sumber persuasif (persuasive source).

Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pembukaan atau preambule dalam suatu konstitusi dan konsiderans atau pertimbangan dari suatu perundang-undangan.

Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari rencana UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia, kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden RI ditetapkan :

“Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.

Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsideran , bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan hukum. Preambule dan penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula konsiderans dan penjelasan peraturan perundang-undangan adalah bagian integral dari suatu peraturan perundangan. Pendapat di atas itu, sebelum adanya UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan GOlongan Karya, semata-mata merupakan pendapat saya sebagai Sarjana Hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No.3 tahun 1975 dijelaskan :

“(1) Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya”.

Dengan demikian, maka preambule atau konsiderans dan penjelasan dari UUD 1945 dan peraturan perundangan seperti Dekrit itu mempunyai kekuatan hukum.
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 itu, selain merupakan Piagam Jakarta di konsiderannya, diktumnya “menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi”. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta (dalam konsideran) dan dasar hukum Undang-Undang Dasar 1945 (dalam diktum) ditetapkan dalam satu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Dekrit Presiden. KEduanya menurut hukum tata negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.

Dengan demikian Presiden RI berkeyakinan, (jadi bukan hanya Ir.Soekarno pribadi), bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Karena perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh kata itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu.

Kata “menjiwai” secara negatif berarti tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus dibuat Undang-undang yang akan memberlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Djuanda pada tahun 1959 :

“Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan (3)”

Di bidang jurisprudensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang Hukum Waris Nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat bahwa di bidang hukum waris, Hukum Waris Nasional yang bilateral lebih mendekati Hukum Islam dari Hukum Adat (4).

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru dibuktikan dengan Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 UU itu mengundangkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya ” Pasal 63 UU Perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

Dengan UU NO.1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Pasal 2 Undang-undang tentang Peradilan Agama mengundangkan : “Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.” Sedangkan, pasal 49 mengundangkan kekuasaan pengadilan dengan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ; (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasar Hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah (5)

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pada 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia menandatangani Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991. Dalam konsideran “Menimbang” pada INpres tersebut, ditetapkan :

a. Bahwa para alim ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada 2 s/d 5 Februari 1998 telah menerima baik rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan
b. Bahwa komplikasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) perlu disebarluaskan.


Dalam konsideran “Mengingat”, sebagai dasar dari Inpres itu, disebutkan “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945”. Kemudian diktum menyebutkan :

“Menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk; Pertama: menyebarluaskan kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari :
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada 2 s/dd 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan Undang-Undang yang berlaku adalah Hukum Islam (pasal 49 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya itu dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi PResiden (6).

UU No.35 Tentang Perubahan Atas UU No.14 /1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Untuk melaksanakan Kebijakan Reformasi Pembangunan dalam pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif, diundangkan UU No.35 Tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11
1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administrative dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung
2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.


Di antara Pasal 11 dan 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11A
1) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini berlaku.
2) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Ketentuan mengenai tatacara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2)b bagi Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama (7).


UU No.44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Menurut pasal 1 UU ini, dalam UNdang-undang ini yang dimaksud :
“Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan Kebijakan Daerah.”

Pasal 4 mengenai Penyelenggaraan Kehidupan Beragama mengundangkan :
1) Kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat
2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama


Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 4 ayat (2): “yang dimaksud dengan mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan umat beragama adalah mengupayakan dan membuat kebijakan Daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Di samping itu, pemeluk agama lain dijamin untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing (8).


Kedudukan Hukum Islam Setelah Amandemen UUD 1945

Oleh karena “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama, KEdua, Ketiga dan Keempat ini adalah Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Maka undang-undang No.1 th 1974, UU No.7 th 1989, Kompilasi Hukum Islam, UU No.35 th 1999 dan UU No.44 th 1999 masih tetap berlaku. Apalagi aturan peralihan UUD 1945 pasal 1 telah menetapkan : “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”
Footnote 
(1) Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Suatu Penyelidikan Hukum Tata Negara, Jakarta, Karya Nilam, 1963, hal 197-198
(2) Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum, dalam Islam dan Kebudayaan Indonesia, (Dulu, Kini dan Esok), Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal, 1991, hal.209-214
(3) Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia, op.cit, hal 214-216
(4) Daniel S.Lev, The Supreme Court dan Adat Inheritance in Indonesia, The American Journal of Comparative Law, II, 1962, hal 205-224
(5) Ismail Sunny, Dasar Hukum Peradilan Agama, (Editor : H.ZUffran Sabrie), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila, Jakarta, Pustaka Antara, 1990
(6) Ismail Sunny, Kompilasi Hukum Islam, ditinjau dari sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, Pelita, 5 Agustus 1991
(7) Ismail Sunny, Posisi Peradilan Agama dalam UU No.35 Tahun 1999, Prospek Hukum Masa Depan, Makalah pada Seminar Nasional Sepuluh Tahun UU Peradilan Agama, Fakultas Hukum Universitas Indonesia - Disbinbapera Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1-2 Desember 1999
(8) Ismail Sunny, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Dalam Kerangka Hukum Tatanegara, makalah pada Seminar Nasional "Syariat Islam di Aceh", IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, 4-5 Oktober 1999 

Friday, August 1, 2008

Impeachment

Impeachment

Oleh : Jimly Asshiddiqie

Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya. Dalam praktek impeachment yang pernah dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah Presiden Lithuania, Rolandas Paskas, dimana proses impeachment itu berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004. Di Amerika pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap Presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun, kesemua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu tidak berakhir pada berhentinya Presiden. Pada kasus Richard Nixon, Nixon mengundurkan diri pada saat proses impeachment berlangsung sehingga belum sampai pada putusan dari proses impeachment itu.

Setidaknya ada 3 hal yang menarik dalam melakukan pengkajian mengenai impeachment. Pertama adalah mengenai objek impeachment, kedua mengenai alasan-alasan impeachment serta terakhir mengenai mekanisme impeachment. Masing-masing negara yang mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.

Objek dari tuduhan impeachment tidak hanya terbatas pada pemimpin negara, seperti Presiden atau Perdana Menteri, namun juga pada pejabat tinggi negara. Objek dari impeachment diberbagai negara berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi objek impeachment. Namun objek impeachment yang menyangkut pimpinan negara akan lebih banyak menyedot perhatian publik. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia juga mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Alasan-alasan impeachment pada masing-masing negara juga berbeda-beda. Selain itu, perdebatan mengenai penafsiran dari alasan impeachment juga mewarnai proses impeachment atau menjadi wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademis. Contohnya adalah batasan dari alasan misdeamenor dan high crime yang dapat digunakan sebagai dasar impeachment di Amerika Serikat. Di Indonesia, kedua alasan tersebut diadopsi dan diterjemahkan dengan "perbuatan tercela" dan "tindak pidana berat lainnya". Batasan dari misdemeanor dan high crime di Amerika sendiri masih menjadi perdebatan. Sedangkan definisi atas alasan impeachment tersebut di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU MK. Yang disebut "tindak pidana berat lainnya" adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sedangkan "perbuatan tercela" adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Meski telah disebutkan dan coba didefinisikan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, kedua alasan impeachment tersebut masih memancing perdebatan wacana secara akademis yang dapat digali lebih dalam lagi.

Mengenai mekanisme impeachment di negara-negara yang mengadopsi ketentuan ini juga berbeda-beda. Namun secara umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan tata negara, yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Bagi negara-negara yang memiliki 2 lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar kecenderungan bahwa Mahkamah Konstitusi-lah yang terlibat dalam proses mekanisme impeachment tersebut. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment itu sendiri berbeda dimasing-masing negara, tergantung pada sistem pemerintahan yang dimiliki oleh negara tersebut serta tergantung pula pada kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam keterlibatannya pada proses impeachment. Di satu negara Mahkamah Konstitusi berada pada bagian terakhir dari mekanisme impeachment setelah proses itu melalui beberapa tahapan proses di lembaga negara lain. Contoh negara dalam sistem ini adalah Korea Selatan. Tak selang beberapa waktu yang lalu, Perdana Menteri Korea Selatan, Roh Moo Hyun, terkena kasus impeachment atas tuduhan kasus suap dalam pemilihan umum yang dimenangkannya. Oleh Parlemen Korea Selatan Roh Moo Hyun telah terbukti bersalah dan diberhentikan dari kedudukannya. Atas putusan Parlemen itu Roh Moo Hyun dinonaktifkan dari jabatannya dan dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah diperiksa di Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Roh Moo Hyun memang melakukan suap tapi tuduhan itu tidak cukup untuk membuat dia turun dari jabatannya. Oleh karena itu Roh Moo Hyun tetap dalam jabatannya sebagai Perdana Menteri akibat putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan sebagai benteng terakhir dari proses impeachment di Korea Selatan.

Ada juga sistem yang menerapkan dimana Mahkamah Konstitusi berperan sebagai jembatan yang memberikan landasan hukum atas peristiwa politik impeachment ini. Kata akhir proses impeachment berada dalam proses politik di parlemen. Contoh dari negara yang mengadopsi aturan demikian adalah Lithuania yang juga baru saja memberhentikan Presidennya, Rolandas Paskas dalam proses impeachment. Indonesia juga mengadopsi aturan seperti ini.

Proses impeachment di Indonesia melalui proses di 3 lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR. DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses "investigasi" atas dugaan-dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat kata akhir akan nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Adanya ketentuan ini tentu memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran atas setidaknya 2 masalah yaitu pertama mengapa penyusun Perubahan UUD 1945 memisahkan kewenangan MK dalam memeriksa perkara ini? Dan kedua mengenai objek dari perkara ini, apakah MK memeriksa pendapat DPR ataukah MK juga berwenang untuk "mengadili" Presiden dan/atau Wakil Presiden? Permasalahan ini memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran secara akademis. Oleh sebab itu, banyak yang bisa digali dan diteliti mengenai penafsiran ketentuan hingga proses teknis dari mekanisme impeachment ini

Friday, July 4, 2008

selingan ....



Beberapa hari yang lalu ketika saya mengecek traffic user yang tersesat di blog ini di http://live.feedjit.com ada satu hal yang menarik menurut saya. Yaitu ada seorang user yang nyasar di blog ini setelah dia googling dengan memasukkan kata kunci berupa nama lengkap saya.
Entah apa yang ada di benak dia sehingga berusaha mencari tahu tentang saya di internet. Screenshotnya bisa dilihat di sini

Wednesday, July 2, 2008

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS JUDICIAL REVIEW UU PEMILU

Mahkamah konstitusi pada tanggal 1 Juli 2008 telah menetapkan putusan judicial review atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau disebut dengan UU Pemilu. Yang mengajukan permohonan pengujian adalah DPD, (pemohon I), perorangan DPD (pemohon II), perorangan warga negara Indonesia (pemohon III) dan perorangan yang tinggal di propinsi tertentu (pemohon IV). Para pemohon merasa bahwa pasal 12 dan 67 UU Pemilu telah merugikan hak konstitusional mereka dan bertentangan dengan pasal 22C ayat 1 dan 22E ayat 4 UUD 1945.

Konklusi (kesimpulan) dari putusan Mahkamah Konstitusi ini yaitu :
1. Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);
2. Syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008;
3. Syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk menjadi calon anggota DPD yang harus dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008;
4. Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD;

Sedangkan bunyi amar putusannya adalah :
- Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan Pemohon II (Anggota DPD) untuk sebagian;
- Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277) tetap konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;
- Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;
- Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selebihnya.
- Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)

Putusan Mahkamah Konstitusi ini diwarnai dengan adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) 4 hakim konstitusi. Para hakim konstitusi yang mempunyai dissenting opinion yaitu H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, Moh. Mahfud MD dan H.Harjono

Untuk lebih lengkapnya putusan Mahkamah Konstitusi ini bisa didownload di sini

Monday, June 30, 2008

KONVENSI DAN KONSTITUSI DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN DI INDONESIA

Oleh :

Prof.Dr.H.Dahlan Thaib, SH. M.Si, dkk


Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperti convention of the constitution.

Dicey seorang sarjana Inggris yang mula-mula mempergunakan istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara (Constitutional Law) yang terdiri atas dua bagian, yaitu1 :

  1. Hukum Konstitusi (The Law of The Constitution) yang terdiri dari :
  • Undang-undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law)
  • Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim (judge-made maxims) dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional)
2. Konvensi-konvensi ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Dari apa yang dikemukakan oleh AV Dicey tersebut jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi cirri-ciri sebagai berikut :

  1. Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan
  2. Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan Negara
  3. Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan

Adapun contoh konvensi ketatanegaraan (convention of the constitution) adalah meliputi :

  1. Raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen
  2. Majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan (money bill)
  3. Menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan dari majelis rendah

Semua contoh tersebut dalam kehidupan ketatanegaraan diterima dan ditaati, walaupun ia bukan hokum (law) dalam arti sebenarnya.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan Negara.

Penyelenggara Negara itu adalah alat-alat perlengkapan Negara atau lembaga-lembaga Negara. Dalam UUD 1945 sudah cukup jelas ketentuan-ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga Negara. Berikut ini akan dibahas tentang konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

  1. KONVENSI DAN UUD 1945

Penjelasan Umum UUD 1945 (catatan : setelah adanya amandemen UUD 1945, terakhir yaitu amandemen ke-empat pada tahun 2002 maka bagian penjelasan sudah ditiadakan sehingga UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh) secara tegas menyatakan bahwa : "Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis…"

Menggarisbawahi Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia selain dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis. Kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan kaidah-kaidah hukum yang tertulis.

Di dalam khasanah ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara aturan-aturan dasar yang tidak tertulis itu disebut konvensi sebagaimana dijelaskan di atas. Sedangkan konstitusi dalam pengertian yuridis adalah suatu naskah tertulis yang mengatur keorganisasian negara yang di dalamnya memuat semua bangunan negara, dan sendi-sendi Sistem Pemerintahan Negara.

Permasalahan yang sering dipertanyakan ialah bagaimana hubungan konstitusi atau UUD 1945 dengan konvensi. Mengapa ada konvensi di samping konstitusi (UUD 1945)? untuk menjawabnya perlu UUD 1945 itu sendiri sebagai rujukan. Nah, bila penjelasan umum UUD 1945 dipahami dalam realita konstitusional, maka tak dapat tidak kehadiran konvensi merupakan kelengkapan bagi konstitusi atau UUD 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman.

Perlu diketahui bahwa hampir semua negara-negara modern di dunia di samping mempunyai konstitusi (UUD yang tertulis) dalam praktik penyelenggaraan negara mengakui adanya apa yang disebut konvensi. Konvensi selalu ada pada setiap sistem ketatanegaraan, terutama pada negara-negara demokrasi.

Untuk Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa konvensi tidak dapat diimpor dari sistem ketatanegaraan negara lain yang mungkin berbeda asas dan karakternya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem parlementer yang telah berurat berakar dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara barat, sudah barang tentu tak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.

DI atas telah disinggung, UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum-hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan yang dinamakan konvensi. Hal ini tentunya tak lepas dari pandangan modern para penyusun UUD 1945 yang melihat hukum konstitusi dalam pengertian luas, yang mencakup baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Di samping itu keterikatan UUD 1945 pada konvensi dikarenakan sifat UUD 1945 itu sendiri sebagai "singkat dan supel". UUD 1945 hanya memuat 37 pasal. Dalam kaitan inilah Penjelasan UUD 1945 mengemukakan : ".... kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, dan melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia ..."

Dari bunyi penjelasan tersebut maka tidak dapat tidak dalam rangka menampung dinamika tersebut dan melengkapi hukum dasar tertulis yaitu UUD 1945 yang singkat, maka kiranya konvensi merupakan salah satu alternatif rasional yang harus dan dapat diterima secara konstitusional dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia. Maka sesuai dengan amanat UUD 1945 kiranya tidak berlebihan apabila melalui konvensi-konvensi diharapkan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan berkembang ke arah masyarakat modern dapat tertampung.

Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas dapat diketahui bagaimana peranan konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem UUD 1945.


2. KONVENSI DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA DEWASA INI

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yaitu sejak ditetapkan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, tercatat adanya beberapa konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945 yaitu sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, maupun kurun waktu kedua yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai sekarang, dapat kita telusuri terjadinya berbagai konvensi ketatanegaraan di Indonesia. Sebagaimana telah disinggung di atas hadirnya konvensi adalah hal yang wajar, karena UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu dengan digantinya Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Akibat perubahan itu kekuasaan eksekutif yang semula berada pada Presiden Soekarno beralih kepada Perdana Menteri (Syahrir). Terlepas dari adanya anggapan bahwa perubahan disebut adalah penyimpangan dari Kabinet Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, namun menurut Menteri Penerangan RI pada waktu itu perubahan sistem tersebut adalah ditimbulkan dengan cara kebiasaan politik (convention). Perubahan ke arah sistem parlementer ini tidak diatur oleh UUD 1945, melainkan karena konvensi ketatanegaraan. Dalam bukunya Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Prof.Soepomo menyatakan dengan Kabinet Syahrir telah timbul konvensi ketatanegaraan mengenai Kabinet Parlementer.

Dalam kurun waktu kedua berlakunya kembali UUD 1945, yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sejarah ketatanegaraan Indonesia juga mencatat adanya konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Seperti kita ketahui, pada periode Orde Lama, setiap tanggal 17 Agustus Presiden Republik Indonesia, mempunyai kebiasaan untuk berpidato dalam suatu rapat umum yang mempunyai kualifikasi tertentu, seperti rapat raksasa, rapat samodra dan lainnya. Dalam pidato itu dikemukakan hal-hal di bidang ketatanegaraan. Namun di bawah Orde Baru kebiasaan di atas telah ditinggalkan, sebagai gantinya pada setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di bawah pemerintahan Orde Baru telah diikrarkan tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Hal ini berarti juga UUD 1945 harus dilestarikan. Upaya pelestarian ditempuh antara lain dengan cara tidak memperkenankan UUD 1945 untuk diubah. Untuk keperluan itu telah ditempuh upaya hukum antara lain :

  1. Melalui TAP No.1/MPR/1983, pasal 104;

"Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen"

2. Diperkenalkannya "Referendum" dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia lewat TAP No.IV/MPR/1983 untuk memperkecil kemungkinan mengubah UUD 1945.

Persoalan yang muncul ialah di satu pihak secara formal UUD 1945 harus dilestarikan dan dipertahankan dengan tidak mengubah kaidah-kaidah yang tertulis dalam UUD 1945 itu sendiri. Di pihak lain diakui, bahwa UUD 1945 seperti yang terdapat dalam Penjelasan : "Memang sifat aturan itu singkat. Oleh karena itu, makin supel (elastis) sifat aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem Undang-undang Dasar jangan sampai ketinggalan jaman". Bagaimanakah mempertemukan kedua prinsip tadi? Di satu pihak UUD 1945 tidak boleh diubah, di pihak lain harus dijaga supaya sistem UUD 1945 jangan sampai ketinggalan zaman.

Menghadapi kedua prinsip ini, jalan yang harus ditempuh adalah mengatur cara melaksanakan UUD 1945. Salah satu bentuk ketentuan yang mengatur cara melaksanakan UUD 1945 adalah konvensi. Di sinilah arti dinamik dari gagasan melestarikan UUD 1945, artinya mempertahankan agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Maka pada periode Orde Baru, sejak tahun 1966 terdapat beberapa praktik ketatanegaraan yang dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Contoh konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, yang sedang berjalan :

  1. Praktik di Lembaga Tertinggi Negara bernama Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
  2. Seperti telah diuraikan di atas yaitu pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR yang di satu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu di hadapan Sidang Paripurna DPR. Karena presiden tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak Orde Baru.
  3. Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang aka datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal 3 UUD 1945 MPR-lah yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan GBHN. Namun untuk memudahkan MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantika anggota-anggota MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
  4. Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR, perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu". Penjelasan oleh Presiden mengenai RUU tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting, karena keuangan negara itu menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian penjelasan UUD 1945.
  5. Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa : "menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan". Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam praktik ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada era pembangunan dewasa ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita dewasa ini. Tidaklah dapat diartikan bahwa adanya Menteri Negara Nondepartemen mengubah UUD 1945. Karena barulah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 apabila prinsip-prinsip konstitusional yang dianut telah bergeser, misalnya menteri-menteri kedudukannya tidak lagi tergantung presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Dalam hal ini misalnya menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya tergantung DPR.
  6. Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum pernah menggunakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, meskipun Rancangan Undang-undang itu telah mengalami berbagai pembahasan dan amandemen di DPR. Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah (Presiden) sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari presiden c.q pemerintah. Maka pengesahan Rancangan Undang-undang oleh Presiden sangat dimungkinkan karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah.

Demikianlah beberapa contoh yang sedang berjalan dalam praktik penyelenggaraan negara di masa Orde Baru yang dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan. Praktik-praktik ketatanegaraan tersebut jelas tidak bertentangan dengan UUD 1945 bahkan sebaliknya konvensi-konvensi konstitusional tersebut merupakan pelengkap UUD 1945. Sehingga dengan demikian konstitusi kita UUD 1945 dapat lebih operasional untuk menyongsong masa depan kehidupan ketatanegaraan, sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan dari suatu masyarakat yang membangun dan modern.

Saturday, June 28, 2008

HAK MENGUJI DALAM TEORI DAN PRAKTEK

oleh Harun Alrasid

1. Latar Belakang Sejarah
Pada waktu penyusunan UUD 1945, masalah hak menguji oleh Hakim (toetsingsrecht van de rechter) yang di Amerika Serikat disebut dengan istilah “judicial review”, menjadi bahan perdebatan dalam sidang pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 15 Juli 1945, ketika Supomo menanggapi usulan Yamin “Tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar . . . “

Usul Yamin itu ditolak oleh Supomo dengan mengemukakan dua alasan; Pertama, Supomo menganggap soal hak menguji berkaitan dengan paham demokrasi liberal dan trias politika yang tidak dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Dia menyatakan:
Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang”.

Selanjutnya Supomo mengatakan :
“... dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”

Alasan Supomo yang kedua ialah sebagai berikut:
Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Nyatalah, bahwa alasan Supomo yang kedua itu sifatnya kondisional. Kalau sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka dapat saja dilakukan hak menguji (toetsingrecht, judicial review), baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah Konstitusi.
Mengenai alasan Supomo yang pertama, memang sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menganut teori trias politica secara murni. Kita tidak memakai sistim “checks and balances” yang merupakan implementasi teori trias politika sehingga kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan untuk mengawasi kekuasaan membentuk undang-undang. Namun, terlepas dari soal demokrasi liberal dan trias politika, sebenarnya hak menguji itu inheren dengan tugas hakim. Seperti dikatakan oleh Prof. Kleintjes, hak menguji itu, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat pada tugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakim, yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban. Perlu dicatat bahwa Dokter Radjiman, sebagai Ketua Badan Penyelidik, mengajukan masalah hak, menguji itu kepada sidang yaitu apakah akan menerima atau menolak usulan Yamin. Namun dalam notulen sidang ternyata hasilnya tidak dicantumkan (atau mungkin juga dihilangkan).

2.Posisi Mahkamah Agunq/Mahkamah Konstitusi

Arti Hak Menguji

Dengan tidak tercantumnya hak menguji dalam UUD 1945, Prof.Wolhoff memberikan pendapat yang senada dengan Prof. Kleintjes. Wolhoff mengatakan :
"Yang menarik perhatian ialah bahwa Konstitusi 19 Agustus 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang kepada Hakim untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi. Bahwa undang-undang dapat melarangnya kepada Hakim sukar diperta-hankan dan karena itu Konstitusi ini membuka kemungkinan bahwa Mahkamah Agung -sebagai Hakim kasasi- berkembang menjadi “Interpreter of the Constitution” seperti “Supreme Court” di U.S.A.”

Jadi, Wolhoff berpendapat bahwa pembuat undang-undang tidak boleh melarang hakim untuk melakukan pengujian, sehingga Mahkamah Agung, sebagai penafsir konstitusi berwenang menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar, yang notabene derajatnya lebih tinggi daripada undang-undang. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung disebut sebagai “The guardian of the Constitution”. Perlu dicatat bahwa istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review”. Kalau kita berbicara mengenai “hak menguji”, maka orientasinya
ialah ke kontinental Eropah (Belanda), sedangkan “judicial review” orientasinya ialah ke Amerika Serikat.

Dalam literatur hukum Belanda dan Indonesia, istilah “hak menguji” mencakup dua macam pengertian, yaitu formal dan material.Yang dimaksud dengan “hak menguii formal” (formele toetsingsrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah suatu produk legislatif telah dibuat secara sah.
Yang dimaksud dengan “hak menguji material” (materiele toetsingrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah kekuasaan/organ yang membuat suatu peraturan berwenang untuk mengeluarkan peraturan yang bersangkutan, dan, apakah isi peraturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kalau kita menyebut judicial review, maka kita beralih ke sistem peradilan Amerika Serikat. Hakim berwenang membatalkan tindakan pemerintah pusat yang dianggapnya bertentangan dengan undang-undang dasar, baik itu tindakan presiden (eksekutif) maupun tindakan kongres (legislatif), dan juga tindakan pemerintah negara bagian.
Berbicara tentang judicial review tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap kasus yang sangat terkenal dalam dunia hukum Amerika, yaitu “Marbury versus Madison” (1803), yang mengorbitkan nama John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diangkat oleh Presiden John Adams (1801). Dengan bangga Presiden Adams mengenang tindakannya itu dengan mengatakan, “My gift of John Marshall to the people of the United States was the proudest act of my life”. Sebelumnya,John Marshall memangku jabatan Sekretary of States. Komentar PatriciaAcheson terhadap karya Agung John Marshal ialah, sbb:
“singel-mind, brilliant and determined, he set out to strenghthen the federal government and to estabilish once and for all the dignity and supremacy of the supreme court.”

3. Hak menguji dalam Orde Baru

Dalam tata hukum Indonesia, soal hak menguji mula-mula diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26, yang bunyinya;
(1) Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari ndang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Meskipun sudah ada diatur namun kemudian dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tatakerja lembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga-lembaga tinggi negara (yang kemudian diganti oleh Ketetapan MPR No.III/MPR/1978, tanpa perubahan redaksi, Pasal 11 ayat (4) tercantum ketentuan sebagai berikut:
“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.

Kemudian, hak menguji diatur lagi dalam undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam bab III yang berjudul “Kekuasaan Mahkamah Agung”, Pasal 31, terdapat kaidah sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

4. Hak Menguji Dalam Era Reformasi

Dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, terdapat aturan hukum sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.
(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana diimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat. Nyatalah bahwa yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang Dasar (The interpreter of the Constitution) ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sebagaimana lazimnya di manca negara, sedangkan yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang (The Inter-
preter of the Law/Act of Parliament) ialah Mahkamah Agung.
Perlu juga diketahui Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000 tentang Penugasan kepada Badan Pekerja MPR agar mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, khususnya mengenai perubahan Bab IX (Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum), Pasal 25B tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang memberikan putusan pada tingkat pertama dan terakhir atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang, serta menjalankan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

5. Perubahan Ketiga UUD 1945: Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Sebuah tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah dibentuk Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat waktu melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan Mah-kamah Konstitusi bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahnya.
Selain daripada itu, berdasarkan Pasal 24C, ayat (2), juncto Pasal 7B, Mahkamah Konstitusi juga berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus mengenai pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau penbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.7 Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A). Jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.