Sunday, September 28, 2008

Putusan MK atas judicial review UU Peradilan Agama

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 8 Agustus 2008 telah mengeluarkan putusan NOMOR 19/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diajukan oleh pemohon perseorangan yang bernama Suryani, seorang buruh wanita yang beralamat di Serang, Banten.

Dalam amar putusannya tersebut, MK menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Pokok permohonan dari judicial review tersebut adalah bahwa Pemohon merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah”. Pemohon menyatakan bahwa hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Pemohon menganggap bahwa dengan tidak dimasukkannya bidang pidana dalam lingkup kewenangan Peradilan agama membuat yang bersangkutan (dan seluruh umat Islam) merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena merasa telah dibatasi dalam hal menegakkan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah di perintahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Hak konstitusional yang didalilkan oleh pemohon yaitu :

  • Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

  • Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun"

  • Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yg bersifat diskriminatif itu”

  • Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

  • Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Di sini saya hanya akan memberikan komentar atas pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh MK dalam memberikan putusan.



Pertimbangan MK

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya telah merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.

Ketentuan pasal-pasal tersebut jelas menentukan bahwa kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945] sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara termasuk kompetensi absolut untuk masing-masing lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, oleh Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dengan undang-undang.


Komentar

  • Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, pembentuk undang-undang (dalam hal ini adalah DPR) berwenang untuk menentukan susunan, kedudukan , keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya, termasuk peradilan agama yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006. Namun perlu diperhatikan bahwa seyogyanya materi/substansi yang diatur dalam undang-undang tersebut tidak menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Dalam konteks permasalahan yang kita bahas ini, telah nyata bahwa materi dalam UU Peradilan Agama (dalam hal ini adalah mengenai kewenangan Peradilan Agama yang tidak memasukkan bidang pidana dalam cakupan kewenangan) membatasi hak konstitusional warga Negara yang beragama Islam untuk melaksanakan semua aspek dalam kehidupan beragama, termasuk bidang pidana Islam yang tidak dimasukkan dalam cakupan kewenangan peradilan agama. Padahal hak konstitusional warga Negara dalam beragama telah diatur di antaranya dalam pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dan Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Kata-kata “…beribadat menurut agamanya” dalam pasal 28E ayat 1 dan kata-kata “Hak beragama……” dalam Pasal 28I tentu dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara Islam untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk bidang pidana Islam, yang mana hal ini tidak diakomodir dalam UU Peradilan Agama

  • MK seolah-olah hanya melihat permasalahan ini hanya dari sudut pandang bahwa apa yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang telah sah dan sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepadanya, tanpa menelaah lebih jauh apakah materi yang diatur dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga Negara yang dijamin dalam UUD 1945 serta tanpa menelaah hak konstitusional pemohon yang seharusnya diakomodir dan dijadikan sebagai batu uji untuk menilai materi yang tercantum dalam UU peradilan agama (dalam hal ini adalah cakupan kewenangan peradilan agama)

Thursday, September 4, 2008

Konstitusi Buatan Rakyat

oleh : Moh.Mahfud MD (Guru Besar Hukum Tata Negara)

Harus diakui, reformasi 1998 membuat demokrasi kita berkembang lebih bagus. Apa bagusnya? Karena reformasilah kita dapat menggugat dengan keras konstitusi yang berlaku. Ini tak terbayangkan dapat dilakukan pada masa lalu, saat otoriterisme Orde Lama dan hegemoni Orde Baru mencengkeram kehidupan berbangsa kita.

Kala itu kalau ada orang mempersoalkan UUD 1945 dipandang sebagai penjahat, kontrarevolusi, dan subversif, meski persoalannya didekati dari sudut akademis-ilmiah. Kampus-kampus dan para guru besarnya dihadapkan pada dua pilihan: menjadi corong penguasa untuk mengatakan bahwa UUD 1945 itu yang terbaik, atau bertiarap agar tidak dilibas. Tak ada kebebasan akademis, apalagi kebebasan mimbar akademis. 

Dulu negara telah membangun tembok sakralisasi atas UUD 1945 dengan kekerasan yang membabi-buta. Padahal itu salah dan melawan arus sejarah. Seperti kata ahli konstitusi terkemuka, K.C. Wheare, konstitusi itu adalah resultante alias kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pada waktu tertentu, yang jika situasi dan kebutuhan berubah, konstitusi pun bisa, bahkan harus, diubah pula. Tak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya. 

Reformasi 1998 telah merobohkan tembok sakralisasi UUD itu. Sekarang kita sudah bisa mengikuti Wheare, UUD 1945 sudah diubah (diamendemen) secara sah sebanyak empat kali tanpa tekanan dari siapa pun. Dan konstitusi yang sudah diamendemen ini pun membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk mempersoalkannya kembali tanpa harus takut ditangkap. 

Nyatanya, sekarang ini banyak yang mempersoalkan UUD hasil amendemen yang sedang berlaku secara resmi. Ada yang mempersoalkan isinya, ada yang mempersoalkan keabsahan prosedurnya. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, tapi banyak yang ingin mengambil jeda dulu dari menguras energi politik, dan melaksanakan saja UUD yang berlaku sekarang. Jauh lebih banyak lagi yang bersemangat melakukan amendemen kelima dengan alasan mumpung masalahnya masih hangat dan dulu kita melakukan perubahan tanpa pertimbangan yang matang. Menurut pandangan arus besar ini, sekarang saatnya kita berpikir lebih dalam, tidak emosional dan tidak pula terlalu romantis atau sentimental, untuk membuat UUD yang lebih baik lagi. 

Menghadapi situasi ini kita pun tak boleh melawan arus sejarah seperti yang dilakukan oleh Orde Lama dan Orde Baru, melawan arus bahwa perubahan adalah keniscayaan. Kita tak boleh dan tak berhak melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan seperti halnya kita tak boleh melarang orang untuk berpendapat agar kita kembali ke UUD 1945 yang asli. Ini sama tak bolehnya dengan kita melarang orang bergeming pada sikap bahwa hasil amendemen yang ada sekarang sudah maksimal dan bagus dan tak perlu diubah-ubah lagi. 

Semua harus ditampung dan disalurkan melalui proses yang konstitusional agar dapat lahir konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar kehendak rakyat, tanpa manipulasi oleh pandangan sepihak para elitenya. 

Penekanan tentang "konstitusi buatan rakyat" ini penting karena, kalau berbicara perubahan konstitusi, banyak di antara kita yang mengukurnya dengan teori produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang mengatakan konstitusi kita salah karena tak sesuai dengan teori Trias Politika yang asli sebagaimana diciptakan oleh Montesquieu. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti Montesquieu? Kalau Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita tak membuat teori yang sesuai dengan kebutuhan kita sendiri? Lagi pula, yang manakah teori Montesquieu yang asli sebagai sistem ketatanegaraan itu? Bukankah setiap negara membuat modifikasi sendiri-sendiri di dalam konstitusinya?

Ada juga yang mengatakan, salah satu kesalahan konstitusi kita adalah tidak jelasnya sistem perwakilan bikameral dengan prinsip checks and balances seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Karenanya, parlemen kita pincang karena DPD kita mandul. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi, tetapi tanpa harus membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di Amerika Serikat.

Kita berhak penuh untuk membuat teori konstitusi kita sendiri. Hukum tata negara yang berlaku di suatu negara adalah apa pun yang ditulis oleh rakyat di negara itu sendiri di dalam konstitusinya. Itu terlepas dari soal sama atau tidak sama dengan teori tertentu dan tak terkait dengan soal sejalan atau tak sejalan dengan yang berlaku di negara lain.

Sebagai wacana proses pembaruan konstitusi, bisa saja teori, pendapat pakar, dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan sebagai bahan pembaruan. Tetapi kita tak terikat untuk mengikuti itu semua karena kita memiliki tuntutan situasi dan kebutuhan sendiri. 

Mungkin saja ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Itu sah saja sebagai pilihan politik kita sendiri. Yang berlaku tetaplah yang ditulis di dalam konstitusi sesuai dengan politik hukum yang kita pilih sendiri. Dengan sikap dan pandangan seperti itulah kita harus menghadapi tuntutan perubahan kembali konstitusi dengan berbagai variasi alternatifnya.

Kontroversi Vonis Ultra Petita

oleh : Moh.Mahfud MD

Ketua Mahkamah Konstitusi

Sampai pekan ketiga Januari 2007, masalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan putusan yang memuat ultra petita (hal yang tidak diminta pemohon judicial review) menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. 

Isu ini terus mengencang sejak MK mengeluarkan putusan No 03/PUU-IV/2002 yang memuat hal yang tak diminta,yakni membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 (jo UU No 31/1999) menyangkut sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) pada pokoknya menentukan bahwa perbuatanperbuatan koruptif yang tidak dilarang secara tegas atau tak tertulis di dalam UU, tetapi melanggar kepatutan dan rasa keadilan dapat dijatuhi hukuman sebagai tindak pidana korupsi.

Ketentuan inilah yang dibatalkan MK, karena selain bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum (orang bisa dihukum hanya kalau melanggar keharusan atau larangan yang ditentukan di dalam UU), juga hanya dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), padahal menurut UU No 10/2004, penjelasan sebuah UU tak boleh memuat norma baru. Putusan itu kemudian disusul dengan beberapa putusan lain yang memuat ultra petitayang selalu disambut dengan kontroversi sampai berbulan-bulan.

Momentum untuk itu pun memang sedang terbuka,karena saat ini Badan Legislasi (Baleg) DPR sedang menggodok rancangan perubahan (RUU Perubahan) atas tiga UU yang terkait dengan itu,yaitu RUU tentang Komisi Yudisial, RUU tentang Mahkamah Agung, dan RUU tentang Mahkamah Konstitusi. Betul dan bolehkah MK telah membuat ultra petita? Inilah yang akan dibahas dalam dua artikel pendek ini. 

Empat Alasan 

Pada 22–23 Agustus 2006, satu forum expert meeting untuk melakukan eksaminasi (pengujian akademis) atas putusan MK No 03/PUU-IV/2006. Penyelenggara eksaminasi adalah Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM, Partnership Kemitraan, dan Indonesian Court Monitoring (ICM). Perdebatan tentang apakah MK telah benar-benar melakukan ultra petita atau tidak berlangsung sampai dua hari.Semula pendapat para eksaminator masih terpecah. 

Tapi setelah diperdebatkan lagi dengan lebih seru, kesimpulannya tegas: MK telah dengan fatal membuat putusan yang ultra petita.Tim eksaminasi mengajukan empat alasan untuk kesimpulannya itu. Pertama, dari pokok permohonan yang disampaikan secara tegas hanyalah meminta agar Pasal 2 ayat (2),Penjelasan Pasal 2,Pasal 3,Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 sepanjang mengenai ”Percobaan” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (terlihat pada Pokok Permohonan, butir 2) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya (terlihat pada Vonis bagian Pokok Permohonan, butir 3). Di sana jelas bahwa yang diminta hanyalah sejauh menyangkut ”percobaan” (terlihat pada halaman 18). 

Meskipun begitu, dalam permohonannya itu, Pemohon banyak mempersoalkan kata ”dapat” sebagai potensi kerugian negara yang sifatnya spekulatif dan tidak pasti. Sedangkan yang menyoal perbuatan melawan hukum secara materiil sama sekali tidak dipersoalkan, terkecuali terbawa oleh kutipan ketika mempersoalkan kata ”dapat” dan ”percobaan,” (lihat Putusan MK halaman 7-8 Putusan MK) sampai kemudian dipersoalkan dalam pendapat Andi Hamzah sebagai Ahli yang dihadirkan di persidangan. 

Kedua, dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi sendiri (halaman 73) yang menyatakan bahwa yang perlu dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 yang juga dimohonkan pemohon sebagaimana tertulis di dalam petitum permohonannya meskipun pemohon ”tidak memfokuskan argumentasinya” secara khusus yakni tentang perbuatan melawan hukum yang bersifat materiil. Di sini tampak bahwa MK melihat bahwa Pemohon tidak memfokuskan argumentasi pada masalah tersebut meskipun menyebutnya di dalam petitum permohonan. Ketiga, MK salah dalam memandang ini seakan-akan Pemohon mengajukan permohonan, tetapi tidak dengan argumentasi yang fokus. 

Padahal sebenarnya, Pemohon sama sekali tidak memohon peninjauan masalah ”sifat melawan hukum materiil”itu.Penyebutan di halaman 8 posita hanya terbawa oleh kutipan langsung ketika mempersoalkan kata ”dapat”, sedangkan penyebutan Pasal 2 ayat (1) oleh Pemohon di dalam petitum itu pun jelas-jelas hanya terbawa karena menyebut secara langsung Penjelasan dalam konteks lain (yakni dalam konteks khusus kata ”dapat” dan ”percobaan”, bukan dalam konteks sifat melawan hukum materiil). 

Keempat, dalam putusan MK tersebut tampak jelas bahwa permohonan uji materi atas kata ”dapat” dan ”percobaan” sebagai pokok petitum dinyatakan ”ditolak” karena tidak bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan malah sejalan dengan tuntutan perkembangan dan konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi.Tetapi atas kreasinya sendiri, MK telah membuat petitum yang tak diminta dan sama sekali tak diurai dalam permohonan, padahal me nurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan MK No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU-MK, setiap permohonan harus disertai uraian petita yang jelas. 

Karena sama sekali tak ada permohonan uji materi tentang sifat melawan hukum materiil,wajar jika pihak pemerintah dan DPR yang mewakili lembaga legislatif sama sekali tidak mengurai jawaban tentang itu.Dari semua ahli yang dihadirkan,hanya Andi Hamzah yang tiba- tiba berbicara sifat melawan hukum materiil dan itulah yang tiba-tiba juga diambil MK sebagai petita meski tidak dimohon. 

Bahkan, pihak legislatif dan para saksi mengatakan ”seandainya yang dipersoalkan Pemohon adalah sifat melawan hukum materiil”, mereka dapat mengemukakan argumen bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945.Tapi karena masalah itu tak ada dalam gugatan dan mereka tak pernah ditanya tentang itu,mereka tak menyinggungnya. Lho,kok tiba-tiba saja MK membuat ultra petita dengan memutus masalah yang tak diminta itu? Bolehkah itu?

Tuesday, September 2, 2008

Kedudukan Hukum Islam Setelah Amandemen UUD 1945 - Sebuah Jejak Panjang

oleh Prof Dr Ismail Sunny, SH, MCL

Pasca Amandemen, ada beberapa perubahan mendasar yang dilakukan terhadap konstitusi. Hal ini berimplikasi terhadap banyak hal. Termasuk pada kedudukan hukum Islam yang telah sekian lama mewarnai hukum nasional. Yang menjadi pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana keberlakuan hukum tersebut setelah perubahan? Hal ini harus dilacak lebih detail

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memulai dengan kata-kata berikut ini : “Setelah mempelajari, menelaah dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan Negara serta menggunakan kewenangan yang berdasar Pasal 3 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan :

“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan dibelakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”


UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah menurut hukum sebagaimana diundangkan secara resmi dalam Berita Republik Indonesia. (II, 7, h.45-48)


Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 menurut hukum sebagaimana diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara 1959, No.75, Berita Negara 1959, No.69. Dekrit Presiden itu antara lain dalam preambule-nya menetapkan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”. Dekrit itu secara bulat pada tanggal 22 Juli 1959 dilegalisir oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (1)”


Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif

Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia harus dibagi dalam dua periode :
1. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif
2. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif

Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive source dan authoritative source. Sumber persuasif ialah sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority).

Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945, Wet op de Staat inrichting van Nederlands Indie (LS) tidak berlaku lagi. Dengan demikian, teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.

Dengan berlakunya UUD 1945 yang Aturan Peralihan pasal II-nya menetapkan “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” tidak dengan sendirinya Pasal 134 ayat (2) I.S. itu tetap berlaku, karena dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu Undang Undang Dasar yang tidak berlaku lagi tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi suatu Undang-Undang Dasar baru yang sama sekali tidak mengatur soal itu.

Setelah berlaku UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :

(1)  Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.


Selama 14 tahun dari tanggal 22 Juni 1945 (waktu ditandatanganinya gentlement agreement antara pemimpin nasionalis dan pemimpin Islam sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden diundangkan), kedudukan hukum ketentuan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah persuasive source. Sebagaimana semua hasi sidang-sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia adalah sumber persuasif bagi penafsiran UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia juga merupakan sumber persuasif dari UUD 1945 (2).

Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif

Barulah dengan ditetapkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, penerimaan Hukum Islam telah menjadi sumber otoritatif (authoritative source) dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar sumber persuasif (persuasive source).

Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pembukaan atau preambule dalam suatu konstitusi dan konsiderans atau pertimbangan dari suatu perundang-undangan.

Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari rencana UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia, kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden RI ditetapkan :

“Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.

Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsideran , bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan hukum. Preambule dan penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula konsiderans dan penjelasan peraturan perundang-undangan adalah bagian integral dari suatu peraturan perundangan. Pendapat di atas itu, sebelum adanya UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan GOlongan Karya, semata-mata merupakan pendapat saya sebagai Sarjana Hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No.3 tahun 1975 dijelaskan :

“(1) Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya”.

Dengan demikian, maka preambule atau konsiderans dan penjelasan dari UUD 1945 dan peraturan perundangan seperti Dekrit itu mempunyai kekuatan hukum.
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 itu, selain merupakan Piagam Jakarta di konsiderannya, diktumnya “menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi”. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta (dalam konsideran) dan dasar hukum Undang-Undang Dasar 1945 (dalam diktum) ditetapkan dalam satu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Dekrit Presiden. KEduanya menurut hukum tata negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.

Dengan demikian Presiden RI berkeyakinan, (jadi bukan hanya Ir.Soekarno pribadi), bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Karena perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh kata itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu.

Kata “menjiwai” secara negatif berarti tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus dibuat Undang-undang yang akan memberlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Djuanda pada tahun 1959 :

“Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan (3)”

Di bidang jurisprudensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang Hukum Waris Nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat bahwa di bidang hukum waris, Hukum Waris Nasional yang bilateral lebih mendekati Hukum Islam dari Hukum Adat (4).

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru dibuktikan dengan Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 UU itu mengundangkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya ” Pasal 63 UU Perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

Dengan UU NO.1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Pasal 2 Undang-undang tentang Peradilan Agama mengundangkan : “Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.” Sedangkan, pasal 49 mengundangkan kekuasaan pengadilan dengan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ; (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasar Hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah (5)

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pada 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia menandatangani Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991. Dalam konsideran “Menimbang” pada INpres tersebut, ditetapkan :

a. Bahwa para alim ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada 2 s/d 5 Februari 1998 telah menerima baik rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan
b. Bahwa komplikasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) perlu disebarluaskan.


Dalam konsideran “Mengingat”, sebagai dasar dari Inpres itu, disebutkan “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945”. Kemudian diktum menyebutkan :

“Menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk; Pertama: menyebarluaskan kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari :
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada 2 s/dd 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan Undang-Undang yang berlaku adalah Hukum Islam (pasal 49 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya itu dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi PResiden (6).

UU No.35 Tentang Perubahan Atas UU No.14 /1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Untuk melaksanakan Kebijakan Reformasi Pembangunan dalam pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif, diundangkan UU No.35 Tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11
1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administrative dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung
2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.


Di antara Pasal 11 dan 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11A
1) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini berlaku.
2) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Ketentuan mengenai tatacara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2)b bagi Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama (7).


UU No.44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Menurut pasal 1 UU ini, dalam UNdang-undang ini yang dimaksud :
“Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan Kebijakan Daerah.”

Pasal 4 mengenai Penyelenggaraan Kehidupan Beragama mengundangkan :
1) Kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat
2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama


Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 4 ayat (2): “yang dimaksud dengan mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan umat beragama adalah mengupayakan dan membuat kebijakan Daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Di samping itu, pemeluk agama lain dijamin untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing (8).


Kedudukan Hukum Islam Setelah Amandemen UUD 1945

Oleh karena “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama, KEdua, Ketiga dan Keempat ini adalah Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Maka undang-undang No.1 th 1974, UU No.7 th 1989, Kompilasi Hukum Islam, UU No.35 th 1999 dan UU No.44 th 1999 masih tetap berlaku. Apalagi aturan peralihan UUD 1945 pasal 1 telah menetapkan : “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”
Footnote 
(1) Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Suatu Penyelidikan Hukum Tata Negara, Jakarta, Karya Nilam, 1963, hal 197-198
(2) Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum, dalam Islam dan Kebudayaan Indonesia, (Dulu, Kini dan Esok), Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal, 1991, hal.209-214
(3) Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia, op.cit, hal 214-216
(4) Daniel S.Lev, The Supreme Court dan Adat Inheritance in Indonesia, The American Journal of Comparative Law, II, 1962, hal 205-224
(5) Ismail Sunny, Dasar Hukum Peradilan Agama, (Editor : H.ZUffran Sabrie), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila, Jakarta, Pustaka Antara, 1990
(6) Ismail Sunny, Kompilasi Hukum Islam, ditinjau dari sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, Pelita, 5 Agustus 1991
(7) Ismail Sunny, Posisi Peradilan Agama dalam UU No.35 Tahun 1999, Prospek Hukum Masa Depan, Makalah pada Seminar Nasional Sepuluh Tahun UU Peradilan Agama, Fakultas Hukum Universitas Indonesia - Disbinbapera Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1-2 Desember 1999
(8) Ismail Sunny, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Dalam Kerangka Hukum Tatanegara, makalah pada Seminar Nasional "Syariat Islam di Aceh", IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, 4-5 Oktober 1999