Thursday, September 4, 2008

Kontroversi Vonis Ultra Petita

oleh : Moh.Mahfud MD

Ketua Mahkamah Konstitusi

Sampai pekan ketiga Januari 2007, masalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan putusan yang memuat ultra petita (hal yang tidak diminta pemohon judicial review) menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. 

Isu ini terus mengencang sejak MK mengeluarkan putusan No 03/PUU-IV/2002 yang memuat hal yang tak diminta,yakni membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 (jo UU No 31/1999) menyangkut sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) pada pokoknya menentukan bahwa perbuatanperbuatan koruptif yang tidak dilarang secara tegas atau tak tertulis di dalam UU, tetapi melanggar kepatutan dan rasa keadilan dapat dijatuhi hukuman sebagai tindak pidana korupsi.

Ketentuan inilah yang dibatalkan MK, karena selain bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum (orang bisa dihukum hanya kalau melanggar keharusan atau larangan yang ditentukan di dalam UU), juga hanya dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), padahal menurut UU No 10/2004, penjelasan sebuah UU tak boleh memuat norma baru. Putusan itu kemudian disusul dengan beberapa putusan lain yang memuat ultra petitayang selalu disambut dengan kontroversi sampai berbulan-bulan.

Momentum untuk itu pun memang sedang terbuka,karena saat ini Badan Legislasi (Baleg) DPR sedang menggodok rancangan perubahan (RUU Perubahan) atas tiga UU yang terkait dengan itu,yaitu RUU tentang Komisi Yudisial, RUU tentang Mahkamah Agung, dan RUU tentang Mahkamah Konstitusi. Betul dan bolehkah MK telah membuat ultra petita? Inilah yang akan dibahas dalam dua artikel pendek ini. 

Empat Alasan 

Pada 22–23 Agustus 2006, satu forum expert meeting untuk melakukan eksaminasi (pengujian akademis) atas putusan MK No 03/PUU-IV/2006. Penyelenggara eksaminasi adalah Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM, Partnership Kemitraan, dan Indonesian Court Monitoring (ICM). Perdebatan tentang apakah MK telah benar-benar melakukan ultra petita atau tidak berlangsung sampai dua hari.Semula pendapat para eksaminator masih terpecah. 

Tapi setelah diperdebatkan lagi dengan lebih seru, kesimpulannya tegas: MK telah dengan fatal membuat putusan yang ultra petita.Tim eksaminasi mengajukan empat alasan untuk kesimpulannya itu. Pertama, dari pokok permohonan yang disampaikan secara tegas hanyalah meminta agar Pasal 2 ayat (2),Penjelasan Pasal 2,Pasal 3,Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 sepanjang mengenai ”Percobaan” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (terlihat pada Pokok Permohonan, butir 2) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya (terlihat pada Vonis bagian Pokok Permohonan, butir 3). Di sana jelas bahwa yang diminta hanyalah sejauh menyangkut ”percobaan” (terlihat pada halaman 18). 

Meskipun begitu, dalam permohonannya itu, Pemohon banyak mempersoalkan kata ”dapat” sebagai potensi kerugian negara yang sifatnya spekulatif dan tidak pasti. Sedangkan yang menyoal perbuatan melawan hukum secara materiil sama sekali tidak dipersoalkan, terkecuali terbawa oleh kutipan ketika mempersoalkan kata ”dapat” dan ”percobaan,” (lihat Putusan MK halaman 7-8 Putusan MK) sampai kemudian dipersoalkan dalam pendapat Andi Hamzah sebagai Ahli yang dihadirkan di persidangan. 

Kedua, dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi sendiri (halaman 73) yang menyatakan bahwa yang perlu dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 yang juga dimohonkan pemohon sebagaimana tertulis di dalam petitum permohonannya meskipun pemohon ”tidak memfokuskan argumentasinya” secara khusus yakni tentang perbuatan melawan hukum yang bersifat materiil. Di sini tampak bahwa MK melihat bahwa Pemohon tidak memfokuskan argumentasi pada masalah tersebut meskipun menyebutnya di dalam petitum permohonan. Ketiga, MK salah dalam memandang ini seakan-akan Pemohon mengajukan permohonan, tetapi tidak dengan argumentasi yang fokus. 

Padahal sebenarnya, Pemohon sama sekali tidak memohon peninjauan masalah ”sifat melawan hukum materiil”itu.Penyebutan di halaman 8 posita hanya terbawa oleh kutipan langsung ketika mempersoalkan kata ”dapat”, sedangkan penyebutan Pasal 2 ayat (1) oleh Pemohon di dalam petitum itu pun jelas-jelas hanya terbawa karena menyebut secara langsung Penjelasan dalam konteks lain (yakni dalam konteks khusus kata ”dapat” dan ”percobaan”, bukan dalam konteks sifat melawan hukum materiil). 

Keempat, dalam putusan MK tersebut tampak jelas bahwa permohonan uji materi atas kata ”dapat” dan ”percobaan” sebagai pokok petitum dinyatakan ”ditolak” karena tidak bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan malah sejalan dengan tuntutan perkembangan dan konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi.Tetapi atas kreasinya sendiri, MK telah membuat petitum yang tak diminta dan sama sekali tak diurai dalam permohonan, padahal me nurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan MK No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU-MK, setiap permohonan harus disertai uraian petita yang jelas. 

Karena sama sekali tak ada permohonan uji materi tentang sifat melawan hukum materiil,wajar jika pihak pemerintah dan DPR yang mewakili lembaga legislatif sama sekali tidak mengurai jawaban tentang itu.Dari semua ahli yang dihadirkan,hanya Andi Hamzah yang tiba- tiba berbicara sifat melawan hukum materiil dan itulah yang tiba-tiba juga diambil MK sebagai petita meski tidak dimohon. 

Bahkan, pihak legislatif dan para saksi mengatakan ”seandainya yang dipersoalkan Pemohon adalah sifat melawan hukum materiil”, mereka dapat mengemukakan argumen bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 30/2002 sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945.Tapi karena masalah itu tak ada dalam gugatan dan mereka tak pernah ditanya tentang itu,mereka tak menyinggungnya. Lho,kok tiba-tiba saja MK membuat ultra petita dengan memutus masalah yang tak diminta itu? Bolehkah itu?

No comments: