Sunday, September 28, 2008

Putusan MK atas judicial review UU Peradilan Agama

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 8 Agustus 2008 telah mengeluarkan putusan NOMOR 19/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diajukan oleh pemohon perseorangan yang bernama Suryani, seorang buruh wanita yang beralamat di Serang, Banten.

Dalam amar putusannya tersebut, MK menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Pokok permohonan dari judicial review tersebut adalah bahwa Pemohon merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah”. Pemohon menyatakan bahwa hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Pemohon menganggap bahwa dengan tidak dimasukkannya bidang pidana dalam lingkup kewenangan Peradilan agama membuat yang bersangkutan (dan seluruh umat Islam) merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena merasa telah dibatasi dalam hal menegakkan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah di perintahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Hak konstitusional yang didalilkan oleh pemohon yaitu :

  • Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

  • Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun"

  • Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yg bersifat diskriminatif itu”

  • Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

  • Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Di sini saya hanya akan memberikan komentar atas pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh MK dalam memberikan putusan.



Pertimbangan MK

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya telah merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.

Ketentuan pasal-pasal tersebut jelas menentukan bahwa kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945] sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara termasuk kompetensi absolut untuk masing-masing lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, oleh Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dengan undang-undang.


Komentar

  • Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, pembentuk undang-undang (dalam hal ini adalah DPR) berwenang untuk menentukan susunan, kedudukan , keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya, termasuk peradilan agama yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006. Namun perlu diperhatikan bahwa seyogyanya materi/substansi yang diatur dalam undang-undang tersebut tidak menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Dalam konteks permasalahan yang kita bahas ini, telah nyata bahwa materi dalam UU Peradilan Agama (dalam hal ini adalah mengenai kewenangan Peradilan Agama yang tidak memasukkan bidang pidana dalam cakupan kewenangan) membatasi hak konstitusional warga Negara yang beragama Islam untuk melaksanakan semua aspek dalam kehidupan beragama, termasuk bidang pidana Islam yang tidak dimasukkan dalam cakupan kewenangan peradilan agama. Padahal hak konstitusional warga Negara dalam beragama telah diatur di antaranya dalam pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dan Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Kata-kata “…beribadat menurut agamanya” dalam pasal 28E ayat 1 dan kata-kata “Hak beragama……” dalam Pasal 28I tentu dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara Islam untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk bidang pidana Islam, yang mana hal ini tidak diakomodir dalam UU Peradilan Agama

  • MK seolah-olah hanya melihat permasalahan ini hanya dari sudut pandang bahwa apa yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang telah sah dan sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepadanya, tanpa menelaah lebih jauh apakah materi yang diatur dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga Negara yang dijamin dalam UUD 1945 serta tanpa menelaah hak konstitusional pemohon yang seharusnya diakomodir dan dijadikan sebagai batu uji untuk menilai materi yang tercantum dalam UU peradilan agama (dalam hal ini adalah cakupan kewenangan peradilan agama)

No comments: