Saturday, June 28, 2008

HAK MENGUJI DALAM TEORI DAN PRAKTEK

oleh Harun Alrasid

1. Latar Belakang Sejarah
Pada waktu penyusunan UUD 1945, masalah hak menguji oleh Hakim (toetsingsrecht van de rechter) yang di Amerika Serikat disebut dengan istilah “judicial review”, menjadi bahan perdebatan dalam sidang pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 15 Juli 1945, ketika Supomo menanggapi usulan Yamin “Tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar . . . “

Usul Yamin itu ditolak oleh Supomo dengan mengemukakan dua alasan; Pertama, Supomo menganggap soal hak menguji berkaitan dengan paham demokrasi liberal dan trias politika yang tidak dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Dia menyatakan:
Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang”.

Selanjutnya Supomo mengatakan :
“... dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”

Alasan Supomo yang kedua ialah sebagai berikut:
Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Nyatalah, bahwa alasan Supomo yang kedua itu sifatnya kondisional. Kalau sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka dapat saja dilakukan hak menguji (toetsingrecht, judicial review), baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah Konstitusi.
Mengenai alasan Supomo yang pertama, memang sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menganut teori trias politica secara murni. Kita tidak memakai sistim “checks and balances” yang merupakan implementasi teori trias politika sehingga kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan untuk mengawasi kekuasaan membentuk undang-undang. Namun, terlepas dari soal demokrasi liberal dan trias politika, sebenarnya hak menguji itu inheren dengan tugas hakim. Seperti dikatakan oleh Prof. Kleintjes, hak menguji itu, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat pada tugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakim, yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban. Perlu dicatat bahwa Dokter Radjiman, sebagai Ketua Badan Penyelidik, mengajukan masalah hak, menguji itu kepada sidang yaitu apakah akan menerima atau menolak usulan Yamin. Namun dalam notulen sidang ternyata hasilnya tidak dicantumkan (atau mungkin juga dihilangkan).

2.Posisi Mahkamah Agunq/Mahkamah Konstitusi

Arti Hak Menguji

Dengan tidak tercantumnya hak menguji dalam UUD 1945, Prof.Wolhoff memberikan pendapat yang senada dengan Prof. Kleintjes. Wolhoff mengatakan :
"Yang menarik perhatian ialah bahwa Konstitusi 19 Agustus 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang kepada Hakim untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi. Bahwa undang-undang dapat melarangnya kepada Hakim sukar diperta-hankan dan karena itu Konstitusi ini membuka kemungkinan bahwa Mahkamah Agung -sebagai Hakim kasasi- berkembang menjadi “Interpreter of the Constitution” seperti “Supreme Court” di U.S.A.”

Jadi, Wolhoff berpendapat bahwa pembuat undang-undang tidak boleh melarang hakim untuk melakukan pengujian, sehingga Mahkamah Agung, sebagai penafsir konstitusi berwenang menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar, yang notabene derajatnya lebih tinggi daripada undang-undang. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung disebut sebagai “The guardian of the Constitution”. Perlu dicatat bahwa istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review”. Kalau kita berbicara mengenai “hak menguji”, maka orientasinya
ialah ke kontinental Eropah (Belanda), sedangkan “judicial review” orientasinya ialah ke Amerika Serikat.

Dalam literatur hukum Belanda dan Indonesia, istilah “hak menguji” mencakup dua macam pengertian, yaitu formal dan material.Yang dimaksud dengan “hak menguii formal” (formele toetsingsrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah suatu produk legislatif telah dibuat secara sah.
Yang dimaksud dengan “hak menguji material” (materiele toetsingrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah kekuasaan/organ yang membuat suatu peraturan berwenang untuk mengeluarkan peraturan yang bersangkutan, dan, apakah isi peraturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kalau kita menyebut judicial review, maka kita beralih ke sistem peradilan Amerika Serikat. Hakim berwenang membatalkan tindakan pemerintah pusat yang dianggapnya bertentangan dengan undang-undang dasar, baik itu tindakan presiden (eksekutif) maupun tindakan kongres (legislatif), dan juga tindakan pemerintah negara bagian.
Berbicara tentang judicial review tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap kasus yang sangat terkenal dalam dunia hukum Amerika, yaitu “Marbury versus Madison” (1803), yang mengorbitkan nama John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diangkat oleh Presiden John Adams (1801). Dengan bangga Presiden Adams mengenang tindakannya itu dengan mengatakan, “My gift of John Marshall to the people of the United States was the proudest act of my life”. Sebelumnya,John Marshall memangku jabatan Sekretary of States. Komentar PatriciaAcheson terhadap karya Agung John Marshal ialah, sbb:
“singel-mind, brilliant and determined, he set out to strenghthen the federal government and to estabilish once and for all the dignity and supremacy of the supreme court.”

3. Hak menguji dalam Orde Baru

Dalam tata hukum Indonesia, soal hak menguji mula-mula diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26, yang bunyinya;
(1) Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari ndang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Meskipun sudah ada diatur namun kemudian dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tatakerja lembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga-lembaga tinggi negara (yang kemudian diganti oleh Ketetapan MPR No.III/MPR/1978, tanpa perubahan redaksi, Pasal 11 ayat (4) tercantum ketentuan sebagai berikut:
“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.

Kemudian, hak menguji diatur lagi dalam undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam bab III yang berjudul “Kekuasaan Mahkamah Agung”, Pasal 31, terdapat kaidah sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

4. Hak Menguji Dalam Era Reformasi

Dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, terdapat aturan hukum sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.
(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana diimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat. Nyatalah bahwa yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang Dasar (The interpreter of the Constitution) ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sebagaimana lazimnya di manca negara, sedangkan yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang (The Inter-
preter of the Law/Act of Parliament) ialah Mahkamah Agung.
Perlu juga diketahui Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000 tentang Penugasan kepada Badan Pekerja MPR agar mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, khususnya mengenai perubahan Bab IX (Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum), Pasal 25B tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang memberikan putusan pada tingkat pertama dan terakhir atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang, serta menjalankan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

5. Perubahan Ketiga UUD 1945: Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Sebuah tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah dibentuk Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat waktu melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan Mah-kamah Konstitusi bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahnya.
Selain daripada itu, berdasarkan Pasal 24C, ayat (2), juncto Pasal 7B, Mahkamah Konstitusi juga berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus mengenai pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau penbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.7 Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A). Jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.




1 comment:

bramanto said...

saya ada pertanyaan mas..
apa saja yang harus ada dalam pengujian uu??jawabnya harus disertai teori yang ada