Thursday, April 21, 2011

Peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang

A. DEFINISI PENCUCIAN UANG

Perbuatan pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah uang hasil kejahatan seperti hasil perdagangan narkotika, perjudian, korupsi, penyelundupan, dan kejahatan lainnya, sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang legal/sah karena asal usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan. Pada prinsipnya kejahatan pencucian uang adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk menyamarkan atau menyembunyikan hasil kejahatan sehingga tidak tercium oleh para aparat penegak hukum, dan hasil kejahatan tersebut dapat dinikmati atau digunakan dengan aman yang seakan-akan bersumber dari jenis kegiatan yang sah.

Adapun tahapan dari proses pencucian uang adalah :
  • penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) seperti bank dalam bentuk simpanan tabungan, deposito atau berupa uang giral (cheque, wesel bank, dan lain-lain).
  • pelapisan (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut.
  • penggabungan (integration) yakni upaya menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai aset atau investasi yang tampak legal.

B. REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yaitu sejak adanya UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yang kemudian dirubah dengan UU No.25 Tahun 2003. Kemudian pada Oktober 2010 diundangkan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) sebagai pengganti UU TPPU. UU PPTPPU ini dibuat dengan pertimbangan bahwa dalam perkembangannya, TPPU semakin kompleks, melintasi batas-batas yuridiksi negara, dan menggunakan modus yang semakin variatif, dan bahkan sudah memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan konvensional (bank) dalam rangka melakukan pencucian misalnya perusahaan properti dan balai lelang.

Salah satu perubahan materi dari UU TPPU ke UU PPTPPU adalah pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan TPPU. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crimes) dari kejahatan asalnya (predicate crime/predicate offense). Kejahatan asal itu misalnya : perdagangan narkotika, penyelundupan, korupsi, pemalsuan, perjudian, dll. Dalam UU PPTPPU disebutkan 26 tindak pidana asal, di mana salah satunya adalah tindak pidana di bidang perpajakan yang menjadi kompetensi penyidik pajak (PPNS DJP).

C. PERAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Pasal 74 UU PPTPPU menyebutkan bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pasal ini dapat dipahami bahwa penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana perpajakan menjadi kewenangan dari penyidik pajak (PPNS DJP) saja, tidak bisa diintervensi oleh penyidik yang lain misalnya penyidik polisi atau jaksa penyidik. Di sinilah letak pentingnya dan fungsi vital yang dimiliki oleh DJP dalam pemberantasan TPPU.

Dalam UU PPTPPU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kemudian pasal 75 menyebutkan dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dan memberitahukannya kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan). Ketentuan ini memberikan dasar legitimasi bagi penyidik pajak ketika melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan untuk secara sekaligus menggabungkannya dengan penyidikan TPPU apabila memang ditemukan indikasi/kemungkinan bahwa WP yang disidik tersebut melakukan TPPU.

Uraian di atas memberikan “PR” (pekerjaan rumah) bagi penyidik pajak untuk memikirkan bagaimana caranya agar ketika melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan juga berusaha untuk mencari/menemukan indikasi/kemungkinan adanya TPPU yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Dengan kata lain, mindset penyidik pajak bukan hanya melulu dan terfokus pada proses penyidikan tindak pidana perpajakan semata-mata tetapi juga diarahkan pada ruang lingkup TPPU.

Walaupun tata cara penyidikan TPPU sudah diatur dalam UU PPTPPU, alangkah lebih baik juga dituangkan secara lebih detil dan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan mengenai taca cara pemeriksaan bukti permulaan TPPU, sebagai pendamping Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Selanjutnya, hal ini bisa dipakai sebagai pedoman dan arahan bagi penyidik pajak dalam mendukung pelaksanaan penyidikan TPPU.

Kita tunggu saja kontribusi nyata dari Direktorat Jenderal Pajak dalam hal pemberantasan TPPU.

No comments: