Wednesday, March 4, 2009

LEGAL REASONING DALAM PENAFSIRAN KONSTITUSI

LEGAL REASONING DALAM PENAFSIRAN KONSTITUSI
Oleh : Dr.H.M.Arsyad Sanusi, SH, M.Hum
Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia



I. PENDAHULUAN
Legal Reasoning memiliki posisi sentral yang sangat penting bagi hakim dalam menafsirkan hukum. Bahkan, legal reasoning merupakan roh dari setiap upaya penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim hingga menghasilkan suatu putusan. Dengan kata lain, legal reasoning memiliki peran sangat penting dalam memandu hakim untuk menentukan makna efektif dari hukum in casu konstitusi.


Mengutip pandangan Golding, term ‘legal reasoning’ dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan. Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung putusan tersebut (1).


Legal reasoning ini pada prinsipnya berkaitan erat dengan bagaimana hakim mengkaji, menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi hukum secara tepat. Dengan demikian, legal reasoning ini tidak dapat dilepaskan dari upaya mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi hukum yang jelas dan rasional. Isu utama adalah kriteria universal dan kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi hukum.


Oleh karena rasionalitas merupakan ingredient (bahan) utama untuk meracik legal reasoning, maka dengan kata lain legal reasoning sulit dilepaskan dari unsur rasionalitas dan logika. Kata ‘logika’ sebagai istilah, berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk pemikiran yang lain, mulai yang paling sederhana ialah pengertian atau konsep (concept), proposisi atau pernyataan (proposition, statement) dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpat pengertian (konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk memahami penalaran, maka ketiga bentuk pemikiran ini harus dipahami bersama-sama. Oleh karena itulah, terdapat satu dalil yang kuat bahwa suatu legal reasoning menjadi bermakna hanya jika dibangun di atas logika. Dengan kata lain, logika adalah suatu “conditio sine qua non” agar suatu putusan dapat diterima. Suatu legal reasoning maupun argumentasi hukum hanya akan diterima apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.


Sedangkan, menurut B.Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini, sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B.Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd probleemdenken) (2).


Sistematika tulisan ini secara umum terbagi dalam 4 (empat) bagian. Bagian pertama merupakan bagian pengantar yang menjelaskan terminologi legal reasoning. Selanjutnya, bagian kedua berisi pembahasan substantif-teoritis legal reasoning, keterkaitannya dengan interpretasi konstitusi, dan masalah interpretasi konstitusi itu sendiri. Disusul dengan bagian ketiga yang berisi uraian tentang penerapan pendekatan legal reasoning secara empiris dalam contoh perkara interpretasi konstitusi. Bagian terakhir, yaitu bagian keempat adalah bagian penutup yang berisi beberapa simpulan.

II. PEMBAHASAN
II.1. LEGAL REASONING

a. Faktor Determinan Sudut Pandang Hakim dalam Membentuk Legal Reasoning
Pembentukan legal reasoning sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang melakukan kegiatan penalaran, in casu hakim. Sudut pandang inilah yang kemudian bermuara menjadi orientasi berpikir yuridis, yakni berupa model-model penalaran di dalam disiplin hukum, khususnya sebagaimana dikenal luas sebagai aliran-aliran filsafat hukum. Apa yang dimaksud sudut pandang di sini, dengan demikian, merupakan latar belakang subjektif dari suatu kerangka orientasi berpikir yuridis.


Menurut Sidarta, salah satu faktor yang mempengaruhi sudut pandang seorang hakim dalam membentuk legal reasoning adalah keluarga sistem hukum yang dianut (3). Keluarga sistem hukum memainkan peranan penting dalam menentukan model-model penalaran yang disajikan dalam kerangka orientasi berpikir yuridis. Hal ini disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :

a. Keluarga sistem hukum merupakan produk historis, yakni wujud pergumulan nilai-nilai budaya, sosial, politik, ekonomi, dan berbagai aspek nilai lainnya yang diakomodasi ke dalam sistem hukum suatu negara atau bagian dari suatu negara. Sistem hukum Indonesia, misalnya, terbentuk dari pergumulan nilai-nilai yang sebagian besar disokong oleh corak keluarga Eropa Kontinental (Romawi-Jerman atau Civil Law System). Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini di Indonesia merupakan produk historis yang dibawa oleh kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi, struktur, dan budaya hukum Indonesia itu sampai sekarang.
b. Keluarga sistem hukum meletakkan dasar bagi pola perkembangan (pembangunan) selanjutnya dari suatu sistem hukum (the visions of law). Sebagai contoh, ada keluarga sistem hukum yang lebih memberi tekanan pada pembangunan substansi hukumnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan daripada yurisprudensi, dan hal ini dengan sendirinya membawa pengaruh pada pola pembangunan hukum (khususnya hukum positif) suatu negara yang berada dalam keluarga sistem hukum tersebut.
c. Keluarga sistem hukum memeragakan karakteristik tertentu dari pengembanan hukum (rechtsbeoefening) baik pengembanan hukum praktis maupun teoretis. Dari sudut pengembanan hukum teoretis, keluarga sistem hukum memberi pengaruh tidak kecil terhadap sikap ilmiah para ahli hukum (sebagai bagian dari ethnos atau komunitas ilmuwan), misalnya tatkala mereka dihadapkan pada suatu tata nilai, gagasan atau perkembangan baru. Keluarga sistem hukum ikut membentuk sikap ilmiah para ilmuwan pendukungnya, sehingga ada yang cenderung lebih konservatif atau sebaliknya. (4)

Dalam sistem hukum civil law, undang-undang ditempatkan sebagai sumber utama hukum, sehingga dengan sendirinya pembentuk undang-undang mempunyai peranan penting untuk menentukan corak sistem hukum positif negara tersebut. Pada forum legislatif inilah semua konsep hukum itu dibicarakan untuk kemudian digunakan sebagai panduan bagi para hakim dalam memecahkan kasus-kasus konkrit di pengadilan. Dalam konteks ini, para pembentuk undang-undang dituntut berpikir sekomprehensif mungkin agar semua kasus yang dipersepsikan akan muncul di kemudian hari dapat tercakup dalam pengaturan undang-undang itu. Makin detil dan eksplisit suatu peraturan diformulasikan, makin ringan pekerjaan hakim di lapangan. Dimensi nilai keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan (Zweckmabigkeit) dipersepsikan sudah diletakkan jauh-jauh hari tatkala undang-undang itu dirumuskan oleh wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif. Oleh karena itu, tugas hakim lebih diarahkan kepada penetapan aturannya, sehingga tercapailah kepastian hukum (Rechtssicherheit) bagi semua pihak.


Pada sisi lain, dalam keluarga sistem common law, keaktifan justru dituntut datang dari para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi yang dihadapi (given situation) di pengadilan (5). Dalam pencarian sumber hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberikan kesempatan untuk menemukan hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapi. Cara berpikir pragmatis ini mengarahkan hakim-hakim dari keluarga sistem common law untuk meletakkan nilai kemanfaatan (daya guna, Zweckmabigkeit) pada tempat pertama. Kemanfaatan di sini tentu dilihat pertama-tama dilihat dari optik kepentingan para pihak yang bersengketa, namun konsep “pihak” di sini dapat saja diperluas, khususnya sengketa dalam hukum publik (6). Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalam putusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common law (7). Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan seksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat prinsipil, hakim tidak dapat mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya. Buku-buku teks ilmu hukum yang beredar di sana dipenuhi oleh analisis putusan-putusan hakim.


Sementara itu, perguruan tinggi hukum di negara-negara keluarga civil law tetap bertahan dengan pola belajar ilmu hukum yang legal-dogmatis. Buku-buku teks ilmu hukumnya lebih condong ke arah analisis doktrinal atas norma hukum positif (peraturan perundang-undangan)(8). Buku-buku tersebut ditulis dengan pendekatan problematik-sistemik yang melekat kuat pada buku-buku di lingkungan keluarga sistem common law. Pola penalaran yang dalam buku-buku teks ini merefleksikan pola umum penalaran para pengguna buku-buku itu dari kedua belahan keluarga sistem hukum tersebut. 


Faktor-faktor yang menjadi pembeda dari kedua keluarga sistem hukum sebagaimana diuraikan di atas memberi pengaruh yang signifikan pada pola-pola penalaran hukum yang digunakan. Pola penalaran ini terkait dengan perbedaan dalam pemaknaan konsep hukum dari masing-masing keluarga sistem hukum itu. Para ahli hukum dari keluarga sistem hukum civil law, pada dasarnya berada dalam arus besar (mainstream) pemikiran bahwa “law as it is written in the book.” Pola penalaran ini makin mendapat penguatan pada abad ke-19, yakni setelah Hans Kelsen mengintroduksi Ajaran Hukum Murni (reine Rechtslehre)-nya. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, para ahli hukum (Eropa) Kontinental memang memandang hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Akibatnya, metode penalaran (termasuk metode penelitian) yang dikembangkan para ahli hukumnya adalah doktrinal, bersaranakan terutama pada logika deduksi untuk membangun sistem hukum positif. Pola penalaran ini tampak masih sejalan dengan akar historis yang dibangun sejak ilmu hukum Romawi (Roman Legal Science) muncul pada abad ke-1 s/d 4 (9).


Sebaliknya, para ahli hukum dari sistem keluarga common law dalam perkembangannya mulai meninggalkan arus besar yang berakar pada ilmu hukum Romawi tersebut. Cara kerja para hakim sebagai pengemban hukum yang paling berperan dalam pembentukan hukum dalam keluarga sistem hukum ini, menuntut penyandang profesi ini lebih melihat kepada situasi-situasi konkrit di masyarakat daripada pertama harus mengacu kepada undang-undang. Jargon yang disampaikan oleh hakim Oliver Wendell Holmes, “The life of the law has not been logic, it has been experience”(10) dan ucapan senada dari Jhon Chipman Gray, “All the law is judge made-law” adalah penggambaran yang tepat dari pendekatan pragmatisme tadi. Pendekatan pragmatisme itu antara lain mengerucut menjadi model penalaran Realisme Hukum. Gagasan tentang model suatu penalaran, tentu dapat melintasi batas-batas area keluarga sistem hukum, namun akhirnya dapat ditunjukkan bahwa model penalaran itupun harus beradaptasi dengan karakteristik keluarga sistem hukum itu.


Secara ringkas, mengenai perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law ini terangkum dalam tabel berikut ini (11).

Namun demikian, di bawah satu atap keluarga sistem hukum pun, perbedaan di antara sistem-sistem hukum nasional tidak dapat dihindarkan. Penelitian yang dilakukan oleh P.S.Athiyah dan R.S.Summers tentang penalaran hukum antara sistem hukum Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan fenomena di atas. Setidaknya, menurut pandangan mereka, (12) “ …. the English legal system is highly ‘formal’ and the American highly ‘substantive’.” Apa yang dimaksud mereka dengan “substantive reasoning” adalah “… a moral, economic, political, institusional, or other social consideration,” sementara “formal reasoning adalah “… a different kind of reason from a substantive reason that has not yet been incorporated in the law at hand. A formal reason is a legally authoritative reason on which judges and others are empowered or required to base a decision or action ….”

b. Karakteristik Legal Reasoning yang Baik
Setelah memahami makna legal reasoning dalam arti sempit maupun arti luas, serta faktor-faktor determinan bagi hakim dalam membentuk legal reasoningnya, maka berikutnya perlu diketahui dan dipahami tentang karakteristik-karakteristik legal reasoning yang baik.


Mengacu pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles, Brett G Scharffs mengemukakan bahwa legal reasoning yang baik itu tersusu dari tiga gagasan atau konsep, yaitu : pertama, practical wisdom atau phronesis, kedua, craft atau techne atau keterampian, dan ketiga, rhetorica(13)


Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi antara practical wisdom, craft dan rhetoric. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mengkombinasikan skill atau karakter practical wisdom (kearifan dalam berpraktik hukum), keterampilan dan retorika. Masing-masing dari ketiga konsep tersebut merupakan komponen esensial dari suatu legal reasoning yang baik. Ketiganya memiliki signifikansi dan arti penting yang setara. Berikut penjelasan dari ketiga komponen tersebut.

i) Practical Wisdom
Fokus dari practical wisdom adalah apa yang harus dilakukan pada suatu waktu tertentu dan pada situasi tertentu. Artinya, practical wisdom terkait sangat erat dengan memberikan pertimbangan yang mendalam (deliberation/bouleusis), menentukan pilihan (choice/proairesis) dari serangkaian pilihan yang ada, dan pada akhirnya menentukan tindakan (action/praxis) terbaik yang harus dilakukan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan practical wisdom bukanlah semata-mata menerapkan dan mengikuti aturan perundang-undangan. Practical wisdom bukan pula semata-mata mengetahui tentang apa yang benar dan apa yang salah , melainkan memberikan pertimbangan mendalam tentang tindakan atau aksi apa yang harus dilakukan.


Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Scharffs, bahwa practical wisdom itu terbentuk dari komponen intelektualitas dan komponen karakter. Seorang hakim yang memiliki pratical wisdom senantiasa dapat melakukan pertimbangan mendalam secara baik. Pertimbangan mendalam tersebut mencakup bagaimana menemukan sarana-sarana terbaik untuk mencapai tujuan tertentu termasuk menentukan tujuan yang tepat yang hendak dicapai. Sosok hakim yang demikian ini dikatakan sebagai hakim yang memiliki intelektualitas yang tinggi.
Komponen kedua yang membentuk practical wisdom adalah karakter. Terdapat beberapa karakter yang dapat memfasilitasi terbentuknya practical wisdom, yaitu simpati dan ketulusan. Selain kedua karakter, terdapat pula beberapa karakter lainnya yang harus dimiliki seorang hakim agar dapat dikatakan sebagai pribadi hakim yang memiliki practical wisdom, yaitu: adil, pemaaf dan rendah hati.

ii) Craft
Aristoteles mendefinisikan craft atau techne sebagai “kemampuan atau kapasitas yang tinggi untuk membuat atau menciptakan sesuatu”. Berbeda dengan practical wisdom, yang lebih terfokus pada tindakan/aksi, focus dari craft adalah karya cipta atau produksi. Apa pun profesi seseorang, apakah dia seorang tukang kayu yang membuat kursi, pekerja bangunan yang membuat rumah, atau seorang penjahit yang membuat baju kemeja, pada tiap-tiap kasus tersebut mereka masing-masing menciptakan sesuatu yang berguna. Kausa efisien dari ketiga contoh tersebut adalah si pekerja atau pencipta. Kausa materialnya adalah kayu, bahan bangunan atau kain atau bahan-bahan lainnya yang membentuk karya cipta mereka. Dan, kausa formalnya adalah ide, gagasan atau rencana yang mengarahkan sang pembuat di dalam upaya mereka menghasilkan suatu karya cipta.


Berbeda dengan practical wisdom yang memiliki beberapa komponen pembentuk, craft hanya memiliki satu komponen, yaitu intelektualitas. Craft terbentuk dari pemanfaatan materi-materi dan sarana-sarana secara terampil. Dalam bidang hukum, materi-materi dimaksud meliputi sumber-sumber hukum (seperti : konstitusi dan ketentuan perundang-undangan), prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran dasar tentang hukum (termasuk prinsip kemerdekaan, kesetaraan, keadilan dan proses hukum yang adil), serta berbagai rangkaian peraturan dan pedoman (misalnya, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi). Seorang hakim yang baik sekaligus adalah seorang pembuat (putusan) yang baik. Ia tidak hanya belajar peraturan perundang-undangan dan teori melainkan juga senantiasa mengembangkan pengetahuannya. Ia juga selalu berupaya untuk mengembangkan sikap dan kebiasaan yang baik melalui proses belajar, berulangkali mencoba dan mengalami kegagalan. Ia senantiasa mengembangkan kebiasaan yang baik dan pengetahuan sebagai bagian dari diri mereka.

iii) Rhetoric
Tujuan atau inti dari rhetoric (retorika) adalah persuasi. Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai “kemampuan untuk menemukan sarana-sarana persuasi yang tersedia”. Definisi yang diberikan oleh Aristoteles ini menarik karena Aristoteles membedakan antara tujuan eksternal dan tujuan internal dari retorika. Tujuan eksternal dari suatu retorika adalah untuk memenangkan atau berhasil membujuk (successfully persuading) audiensinya. Keberhasilan upaya persuasi ini diukur dari hasil yang diperoleh dari argumen yang telah dibangunnya. Sedangkan, tujuan internal berkaitan erat dengan penyusunan argumentasi terbaik yang mungkin dibuat dalam suatu keadaan tertentu dan dengan memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang tersedia.

Tujuan atau fokus dari practical wisdom, craft maupun rethoric semuanya dapat ditemukan dalam pelaksanaan tugas hakim. Putusan yang dibuat hakim, tentunya, terkait erat dengan tindakan/aksi yang membutuhkan practical wisdom. Dalam hal ini, hakim membutuhkan pertimbangan yang mendalam, menentukan pilihan dari serangkaian pilihan yang tersedia, dan pada akhirnya menentukan tindakan atau aksi yang akan diambilnya. Pendapat hukum (legal opinion – LO) yang dibuat oleh Hakim Konstitusi misalnya, merupakan suatu karya cipta (craft) yang memiliki tujuan dan manfaat yang tinggi. Pendapat hukum (Legal Opinion) yang kemudian dituangkan hakim dalam putusannya pun merupakan sesuatu yang dapat dikritisi dan dipuji sebagai pendapat hukum yang baik, tegas serta memiliki kemanfaatan yang tinggi, sama halnya seperti karya cipta-karya cipta yang lain. Selanjutnya, hakim pun terlibat dalam proses ber-retorika (rethoric) atau berargumen untuk meyakinkan hakim-hakim konstitusi yang lain atau para pihak atau pihak lain bahwa pendapatnya adalah benar, dan pada akhirnya, bahwa ia telah memutus perkara yang ditanganinya secara benar.


Proses ber-retorika juga terjadi pada saat seorang anggota majelis hakim konstitusi berupaya untuk meyakinkan anggota majelis yang lain, sehingga diperoleh suatu hasil tertentu. Skill atau keterampilan ber-retorika ini sangat penting bagi seorang hakim konstitusi atau hakim pada umumnya, karena apabila kemampuan ber-retorika telah terkuasai dengan baik, maka hakim a quo akan dapat meyakinkan para pihak, terutama pihak yang kalah bahwa proses peradilan terhadapnya telah dilaksanakan secara benar, atau setidak-tidaknya bahwa pihak yang kalah dapat diyakinkan bahwa proses persidangan terhadapnya telah dilaksanakan secara adil.


Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip kembali oleh Scharffs, retorika itu terbentuk dari tiga model persuasi yang berbeda, yaitu : logos, atau alasan; pathos, atau emosi; dan ethos, atau karakter. Model persuasi yang pertama, yaitu logos, atau alasan, membutuhkan pemahaman tentang apa yang dipikirkan oleh para pihak untuk selanjutnya menjadi bahan penyusunan argumentasi hukum yang logis. Model persuasi yang kedua, yaitu pathos, atau emotion memanfaatkan emosi manusia untuk menyentuh perasaan dan cara pikir seseorang. Dipahami bahwa bentuk-bentuk emosi manusia, seperti rasa takut, kebencian dan rasa sayang dapat mempengaruhi kemampuan penalaran manusia, sekaligus dapat mempengaruhi keputusan hukum yang diambil oleh hakim, misalnya. Sedangkan, model persuasi yang ketiga adalah ethos atau karakter. Karakter di sini dapat dimaknai sebagai reputasi, citra, kredibilitas, kualitas personal dan kualitas lebih dalam dari pemikiran manusia. Etos bukanlah sekedar bagaimana para pencari keadilan memandang sosok seorang hakim, melainkan lebih melihat pada tipe orang seperti apakah hakim tersebut.


Seorang hakim konstitusi yang baik akan mengadopsi dan mengkombinasikan ketiga model persuasi tersebut di atas. Hakim yang baik tidak akan melewatkan aspek psikologis di samping aspek legal-formal. Melalui penguasaan psikologi, hakim yang baik akan dapat “berkomunikasi” dengan para pihak dengan memanfaatkan komponen ethos, pathos, dan logos. Ketiga komponen ini sangat penting dan tidak dapat ditinggalkan bagi keberhasilan suatu persuasi.

c. Peranan Koherensi dalam Legal Reasoning
Beberapa ahli berpendapat bahwa teori koherensi yang mempunyai hubungan sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini mendapatkan tempatnya di dalam filsafat hukum. Teori koherensi dalam hukum juga mempunyai pengaruh dalam konteks teori koherensi tentang kebenaran, kepercayaan yang sah, etika dan keadilan. Teori Dworkin tentang “hukum sebagai integritas” sebagai pendukung teori koherensi tampaknya menjawab pertanyaan ini secara lengkap: koherensi, dalam legal reasoning mengharuskan adanya nilai yang ditengarai mempunyai hubungan yang relevan dengan kenyataan hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim untuk mencapai suatu putusan yang adil. Harus diperhatikan pula bahwa ketentuan-ketentuan hukum seperti doktrin preseden, argumen dari analogi, dan keharusan memperlakukan suatu kasus sama seperti kasus sebelumnya tampaknya diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang koherensi.


Mac Cormick memandang koherensi dalam bentuk kesatuan asas-asas pada sistem hukum, dan menyatakan bahwa koherensi dari suatu kesatuan norma hukum terdiri dari keterhubungan mereka baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau nilai-nilai yang sama, atau dalam bentuk pemenuhan suatu prinsip atau prinsip-prinsip yang sama.


Terdapat pula pendapat yang memandang koherensi dalam hukum sebagai suatu kesatuan prinsip. Semakin menyatu prinsip-prinsip yang mendasari putusan hakim dan tindakan legislatif dalam menyusun undang-undang, semakin koheren hukum yang dicapai. Lebih jauh lagi, teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan adanya “dasar” atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dala karakternya secara krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi di wilayah filsafat lainnya. Sehingga, putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus yang secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang berlaku, hakim harus menanamkan di dalam pikirannya bahwa jika mereka memilih cara/jalan terdahulu, dan muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka dalam perselisihan hukum yang mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi terhadap hukum dan karena itu menciptakan ketidakseimbangan dengan doktrin hukum yang berlaku, maka hal ini tidak berarti bahwa legislator harus menyusun hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di masa lalu, karena legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam memperkenalkan peraturan yang baru, dan untuk itu dapat mereformasi seluruh area hukum terkait.


Sebaliknya hakim, in casu hakim konstitusi hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah yang timbul dalam suatu kasus hukum yang diajukan kepadanya, dan tidak berwenang untuk melakukan reformasi hukum secara radikal. Hal ini menjadi alasan bahwa hakim harus memberi bobot yang lebih tinggi bagi koherensi dengan hukum yang berlaku dalam memutuskan kasus yang diajukan kepadanya.


Namun, Dworkin mempunyai pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Baginya, baik hakim maupun ahli teori hukum harus memberi penjelasan bagaimana mereka sampai kepada suatu simpulan yang menciptakan hukum. Dworkin menyatakan bahwa hukum adalah suara yang tersusun dan koheren sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang saling berhubungan serta terhubung dengan kenyataan bahwa hak-hak dan tanggung jawab itu diatur oleh prinsip yang umum (general principles of law). Dworkin mendukung pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa putusan pengadilan yang baik dan tepat adalah yang memiliki koherensi yang baik dengan hukum secara keseluruhan.

d. Preseden dan Analogi dalam Legal Reasoning
Argumen dari preseden dan analogi merupakan hal pokok dalam legal reasoning. Legal reasoning ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh yang baik dalam hal ini. Dalam kehidupan sehari-hari, orang pada umumnya mempertimbangkan sesuatu pada masa lalu untuk mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapinya pada masa kini maupun yang akan diputuskannya di masa depan. Berbeda dengan preseden di bidang hukum, meski hukum bukan satu-satunya bidang di mana orang akan mempertimbangkan keputusan terdahulu dalam mengambil putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai praktek lembaga juga memberi bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan putusan masa lalu dalam mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga biasanya pengambil keputusan selalu mengacu kepada apa yang telah diputuskan sebelumnya sebagai pertimbangan mengenai apa yang harus mereka lakukan saat ini, tanpa memandang apakah keputusan yang diambil di masa lalu sudah benar atau tidak.


Demikian pula pengambil keputusan di suatu lembaga selalu mempertimbangkan keputusan sebagai suatu kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi adalah berbeda dari masa lalu, yaitu dengan mengutipnya sebagai suatu analogi. Mereka beralasan bahwa karena keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa, maka akan tidak konsisten apabila sekarang diambil keputusan yang berbeda.


Dengan legal reasoning dapat diberikan pertimbangan terhadap apa yang telah diputuskan di masa lalu tanpa memandang eksistensi dan peran personal para pembuat keputusan waktu itu. Dengan legal reasoning pula dapat dipertimbangkan apakah putusan masa lalu telah diambil secara tepat, akan tetapi fokus utama adalah bahwa putusan yang diambil saat ini haruslah tepat dan tidak dihambat oleh pandangan tentang masalah terdahulu.


Analogi sebagai argumen dalam legal reasoning adalah bahwa suatu kasus harus diperlakukan dengan suatu cara tertentu karena dengan cara itu pula kasus yang serupa di masa lalu telah diperlakukan. Argumen dengan analogi ini menjadi tambahan bagi doktrin preseden dalam dua hal yaitu : (i) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus tidak masuk dalam ratio suatu preseden, untuk dapat digabungkan hasilnya dalam kasus yang sama, (ii) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus masuk ke dalam ratio suatu preseden, sebagai dasar untuk membedakan kasus yang sedang ditangani dari preseden yang ada.


Analogi sebagaimana preseden muncul dalam konteks doktrinal. Kasus yang sedang ditangani memunculkan masalah hukum, misalnya, mengenai apakah pembakaran bendera merah putih merupakan bentuk penghinaan terhadap negara? Suatu analogi dapat mengenai suatu kasus atau dapat pula mengenai suatu doktrin hukum dan analogi tergantung kepada karakter yang sama pada dua kasus yang terjadi atau dua doktrin hukum yang ada yang relevan terhadap masalah yang terjadi.

II.2. Legal Reasoning dalam Interpretasi Konstitusi
Pentingnya peranan aktivitas interpretasi (termasuk interpretasi konstitusi) timbul dari berbagai dasar, di antaranya, bahwa interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari penyelesaian, atau setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan terhadap suatu problem ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian peraturan perundang-undangan. Jika, melalui proses legal reasoning, suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan dinilai tidak mempunyai arti yang tepat dank arena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar hukum, maka haruslah ada pihak yang menjadi penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi.


Interpretasi konstitusi (constitutional interpretation) merupakan sebuah konsep janus-faced, yaitu merupakan suatu proses yang harus mempertimbangkan dua arah, backward dan forward looking, yaitu : mencari dasar ke belakang (konsep hukum yang sudah ada) dan merancang prospektif ke depan (menyusun konsep baru). Dengan kata lain interpretasi tentang sesuatu adalah interpretasi tentang “sesuatu”, haruslah terlebih dahulu dianggap bahwa ada sesuatu, yang original, genuine, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran yang absah itu dilaksanakan. Jadi, harus dibedakan antara interpretasi dengan penciptaan murni. Akan tetapi, interpretasi juga bukan hanya merupakan upaya untuk melakukan reproduksi tetapi juga untuk membuat sesuatu atau mengambil sesuatu keluar dari yang aslinya.


Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi mempunyai peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu : (i) dalam reasoning untuk menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/kasus yang terjadi, dan (ii) dalam menyusun reasoning dari sustansi hukum yang ada untuk mendapatkan keputusan dalam masalah/kasus yang dihadapi.


Di Amerika Serikat terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan konstitusi, hakim harus berupaya untuk menelusuri bagaimana ketentuan-ketentuan dalam konstitusi itu dari semula diartikan oleh pihak yang merumuskan dan mengesahkan konstitusi itu. Pendekatan ini menyatakan bahwa semakin dekat dengan pengertian aslinya maka semakin “benar” penafsiran tersebut. Pendekatan ini menekankan pentingnya konsep backward-looking. Pendekatan semacam ini dikenal dengan pendekatan originalisme (14). Sedangkan, pada kutub yang lain, terdapat pandangan yang menekankan pentingnya inovasi dan dinamisme, serta menolak originalisme. Kelompok yang menghendaki demikian ini berpendapat bahwa konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena adanya ketidakpastian bahasa dalam undang-undang (konstitusi) (15).


Sedangkan, teori atau pendekatan interpretasi yang lazim dianut di Indonesia berlatar belakang ilmu hukum dogmatis yang bertitik tolak dari tata hukum yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka memberi arti agar dapat dimengerti secara umum melalui interpretasi yang bertujuan memberi makna terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang. Interpretasi merupakan metode yang khas bagi ilmu hukum. Namun, di Indonesia telah terdapat pendapat yang berpengaruh bahwa adakalanya penafsiran undang-undang tidak diperlukan. Dengan sendirinya, mengerti kalimat atau kata dalam undang-undang berarti sudah menafsirkannya. Terdapat beberapa jenis penafsiran yang dikenal dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu :
a) Penafsiran penambah
Menyatakan bahwa penafsiran terhadap undang-undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti yang samar-samar, penasiran yang utama ada di dalam penjelasan undang-undang itu.
b) Penafsiran pelengkap
Memahami klausula dalam undang-undang dengan melakukan interpretasi penambah, ternyata belum lengkap, karena kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak mungkin keseluruhannya ditentukan oleh undang-undang, hanya sebagian yang sesuai dengan rasa keadila yang muncul dari teks undang-undang, sedangkan sebagian lagi tetap membisu di dalam teks itu. Untuk itu diperlukan pencapaian untuk sampai kepada pengertian undang-undang yang sesungguhnya sehingga benar-benar dimengerti bagaimana undang-undang tersebut berfungsi dalam kehidupan. Ilmu hukum bukan suatu sistem yang tertutup melainkan merupakan sistem yang terbuka bagi pertimbangan-pertimbangan baru. Suatu penafsiran pelengkap didapatkan melalui penelitian di lapangan, untuk mendapat informasi tambahan bagi suatu penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang untuk memikirkan semua situasi yang dapat muncul.
c) Penafsiran budaya
Di samping kedua penafsiran tersebut di atas masih terdapat suatu penafsiran yang bersifat total, yang disebut dengan penafsiran budaya, yaitu penafsiran perkara/kasus di bawah pengaruh keyakinan suatu masyarakat tertentu yang bukan bersifat politis akan tetapi bersifat sosial etis, yang menentukan apakah suatu perkara/kasus atau masalah merupakan hal yang layak di masyarakat tertentu. Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan sosial etis sudah ada sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen yuridis yang cocok. Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus digabungkan dengan argumen yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang meyakinkan, dengan demikian argumen tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak.

a. Beberapa Pendekatan dalam Legal Reasoning
Setelah dipahami tentang makna legal reasoning, faktor-faktor determinan bagi pembentukan legal reasoning, berbagai pendekatan dalam legal reasoning, serta keterkaitan antara legal reasoning dan interpretasi konstitusi, berikutnya hendak diperkenalkan dua konsep atau formula untuk menyelami dunia legal reasoning sehingga menjadi lebih mudah dipahami.


Konsep atau formula yang pertama adalah pembentukan legal reasoning melalui formula IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion) yang ditawarkan oleh Prof.Peter Suber, dari Philosophy Department, Earlham University (16). IRAC inilah yang merupakan bentuk-bentuk dasar dari balok-balok pembentuk argumentasi hukum. Sedangkan, formula kedua (yang merupakan formula pembanding bagi formula IRAC) adalah formula IRFAC (Issue, Rule, Facts, Analysis, Conclusion) yang ditawarkan oleh K.Krasnow Waterman, Ph.D. dari Faculty of Law North Western University (17). Pada prinsipnya, keduanya merupakan alur pembentukan legal reasoning dalam mencermati setiap permasalahan hukum. Keindahan atau keistimewaan formula IRAC dan IRFAC ini adalah bahwa keduanya memungkinkan para hakim untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan hukum menjadi sebuah rumus atau formula sederhana. Melalui kedua formula tersebut, kompleksitas teknik pembentukan argumentasi hukum atau legal reasoning yang bersifat abstrak dapat disederhanakan menjadi sebuah formula sederhana yang mudah diingat, dipahami dan dipraktekkan para hakim, khusunsnya hakim-hakim junior.


Formula yang pertama, yaitu formula IRAC terbentuk dari empat elemen, yaitu :
Issue → Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah membawa para pihak ke pengadilan;
Rule → Aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum tersebut ?
Analysis → apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan terhadap fakta-fakta khusus dari isu hukum tersebut?
Conclusion → Bagaimana pengaruh dari sikap atau putusan terhadap penegakan hukum?

Dengan demikian, menurut formula IRAC ini terdapat 4 (empat) langkah sederhana yang harus dilalui oleh setiap hakim konstitusi dalam membedah perkara yang diajukan kepadanya, serumit apa pun perkara itu.


Langkah pertama adalah menemukan serta mencermati ISSUE hukumnya. Satu hal yang harus senantiasa diingat pada saat mencermati isu hukum ini adalah bahwa “Fakta hukum dari suatu perkara memberikan petunjuk tentang permasalahan atau isu hukum yang dihadapi”. Selanjutnya, kunci untuk mencermati isu hukum adalah kemampuan sang hakim untuk mengidentifikasikan fakta hukum apa telah memunculkan isu hukum apa. Karena pada asasnya isu hukum itu sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau penambahan suatu fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum dalam perkara yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan upaya penegakan hukum yang baru pula.


Dalam studi hukum seringkali dijelaskan bahwa cara termudah untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan mengidentifikasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang tidak relevan dari perkara yang bersangkutan, misalnya : masalah pencemaran nama baik dan sebagainya. Sekalipun demikian, tetap penting bagi hakim konstitusi untuk secara mandiri mengasah dan mengembangkan keterampilan mencermati isu hukum yang relevan dan tidak relevan agar dapat meningkatkan kemampuan serta dapat menjadi hakim yang profesional dan efektif.


Tatkala seorang hakim membaca berkas perkara, hendaknya selalu menyusun daftar pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati. Dengan demikian yang bersangkutan akan memiliki semacam database untuk permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati tersebut. Database ini akan memudahkan hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Sebaliknya, manakala seorang hakim konstitusi tidak memiliki database yang tertata secara cermat, maka terdapat kemungkinan akan terjadi error di dalam upaya untuk menemukan fakta-fakta hukum yang relevan, sehingga berakibat salah dalam membedah tahapan berikutnya dalam formula IRAC, yaitu tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya).


Selanjutnya, langkah kedua dalam formula IRAC adalah menemukan Rule (aturan hukum) mana yang diterapkan? Satu hal yang harus diyakini terkait dengan elemen Rule ini adalah bahwa “Permasalahan atau isu hukum tertentu diatur oleh aturan hukum tertentu pula”. Untuk setiap berkas perkara yang dibaca oleh hakim konstitusi misalnya, cobalah untuk membedah penegakan hukumnya dengan mengurai perkara tersebut menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, tanyakanlah : elemen aturan hukum manakah yang harus dibuktikan agar penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar? Untuk itu pertanyaan-pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
¬ Elemen-elemen apa saja yang dapat membuktikan keberlakukan aturan hukum yang dijadikan sebagai batu uji?
¬ Adakah faktor-faktor sosial kemasyarakatan yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan?
¬ Apa saja pengecualian bagi pemberlakuan aturan hukum tersebut?
¬ Keluarga sistem hukum (family of legal system) yang manakah yang akan menjadi sumber dari aturan hukum tersebut? Apakah bersumber dari yurisprudensi, peraturan perundang-undangan atau yang lain?
¬ Adakah kebijakan publik, freiz ermessen dan sebagainya yang menjadi dasar di balik aturan hukum yang diterapkan tersebut?

Jebakan yang sering menghambat hakim konstitusi, adalah terlalu terfokus dan terpaku pada aspek legal formal atau aturan hukum saja. Padahal, sekalipun aturan hukum merupakan hukum yang harus ditegakkan, sesungguhnya, seni dari berpraktik hukum adalah terletak pada kemampuan hakim konstitusi yang bersangkutan dalam membuat analisis hukum. Jebakan lainnya yang mungkin muncul adalah kemungkinan terjadinya conflict of rules, sebagaimana terjadi dalam perkara permohonan Polycarpus (Perkara No.16/PUU-VI/2008).


Berikutnya, langkah ketiga dalam formula IRAC adalah Analysis. Perlu dipahami sebelumnya bahwa seni berpraktik hukum sejatinya terletak pada kemampuan hakim untuk membuat analisis hukum. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk membentuk analisis hukum itu? Jawaban sederhana yang dapat penulis berikan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah “Untuk membentuk analisis hukum, bandingkan dan cermatilah fakta hukum yang anda temukan dengan aturan hukum yang anda terapkan”
Bagian yang sangat penting ini sesungguhnya sederhana saja. Untuk setiap fakta hukum yang relevan, hakim harus bertanya: apakah fakta hukum yang ditemukan tersebut dapat membantu hakim dalam membuktikan atau mematahkan aturan hukum yang dimohonkan? Apabila suatu aturan hukum mensyaratkan terpenuhinya suatu keadaan/unsur tertentu agar aturan hukum tersebut dapat diterapkan, maka tidak terpenuhinya keadaan tersebut akan membantu sang hakim untuk mencapai simpulan bahwa aturan hukum tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perkara yang bersangkutan. Melalui analisis tersebut hakim dapat sampai pada simpulan apakah unsur-unsur aturan hukum dimaksud telah terpenuhi atau tidak.


Kesalahan terbesar yang sering terjadi yaitu terdapat kecenderungan untuk hanya menyoroti permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal, yang terpenting bukanlah sekedar menemukan hukumnya saja, melainkan juga menerapkan aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai. Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC, karena di sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning) yang sesungguhnya.


Mengingat begitu pentingnya elemen analisis ini, maka berikut ini beberapa pertanyaan panduan yang dapat membantu dalam menganalisis suatu perkara.
¬ Fakta hukum apakah yang dapat membantu membuktikan dengan tepat penerapan suatu aturan hukum?
¬ Mengapa suatu fakta hukum dianggap relevan?
¬ Bagaimana fakta hukum tersebut dianggap memenuhi unsur-unsur dari suatu aturan hukum?
¬ Jenis-jenis fakta hukum apa saja yang dapat diterapkan terhadap aturan hukum tersebut?
¬ Adakah argumentasi yang bertolak belakang untuk mendapatka solusi lain?

Dari pertanyaan-pertanyaan hukum di atas dapat diperoleh jawaban analisis hukum yang tepat.
Berikutnya, langkah terakhir, atau langkah keempat dari formula IRAC adalah Conclusion atau simpulan. Dengan membuat simpulan berarti seseorang telah mengambil sikap berdasarkan hasil analisis yang telah dibuatnya. Dengan kata ain, “berangkat dari analisis, kita akan sampai pada simpulan; misalnya simpulan bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan terhadap fakta-fakta hukum yang ada dalam setiap permohonan”


Simpulan merupakan bagian terpendek dari rangkaian langkah-langkah dalam formula IRAC. Simpulan dapat berupa kalimat sederhana “ya” atau “tidak”, atau kalimat yang menyatakan apakah aturan hukum tertentu dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum tertentu pula. Ada kalanya seorang hakim menjumpai permasalahan atau isu hukum dimana terjadi penafsiran ganda bahwa suatu aturan hukum dapat dan sekaligus tidak dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum. Terhadap hal demikian, sangat bergantung pada seberapa baik kemampuan hakim dalam menganalisis permasalahan atau isu hukum yang pelik tersebut. Dalam hal ini hakim harus menentukan sikap serta menunjukkan seberapa tajam kemampuannya dalam menganalisis suatu perkara permohonan konstitusi.


Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa memberikan landasan atau dasar yang kuat bagi pendapat yang dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan kata lain, praktisi hukum atau hakim hanya sekadat menyoroti suatu isu hukum, menyebutkan aturan hukum yang diterapkan sebagai batu uji hukumnya dan kemudian membuat simpulan tanpa memberikan analisis yang memadai dan baik. Pastikan bahwa apa pun sikap yang diambil, sang hakim harus selalu menyertakan landasan atau dasar yang kuat dalam analisisnya.


Perlu diingat bahwa sikap yang diambil seorang hakim adalah apakah suatu aturan hukum dapat diterapkan atau tidak. Apabila hakim berpendirian bahwa suatu aturan hukum tidak dapat diterapkan, hendaknya tidak terjebak untuk bersimpulan bahwa seseorang harus bertanggung jawab atau bahwa seseorang tidak bersalah. Mungkin, masih terdapat aturan-aturan hukum lainnya yang dapat digunakan untuk mengadili pihak tersebut. Hakim perlu memikirkan dan mempertimbangkan aturan hukum lain tersebut dan kemudian kembali melakukan analisis terhadap fakta-fakta hukum yang diajukan kepada anda.


Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa IRAC merupakan model penalaran hukum yang baik dan dapat memberikan banyak kemudahan bagi praktisi hukum, termasuk hakim. Namun, para praktisi hukum ini seringkali melupakan bagian terpenting dari formula IRAC, yaitu analisis. Untuk mengilustrasikan betapa pentingnya unsur analisis ini, berikut dikemukakan modifikasi dari model formula IRAC tradisional. Model modifikasi ini disebut dengan Segitiga IRAC.




Segitiga IRAC di atas menekankan pada Analisis dengan menggunakan fakta-fakta hukum (FACTS), permasalahan atau isu hukum (ISSUES) dan aturan hukumnya (RULES) sebagai balok-balok pembentuk analisis hukum. Analisis hukum ini merupakan produk akhir sekaligus hasil tujuan utama dari Segitiga IRAC, namun peran fakta-fakta hukum dalam membentuk analisis tetap menjadi fokus perhatian. Langkah-langkah dalam segitiga IRAC adalah sebagai berikut :
Langkah 1 : Fakta-fakta hukum dari suatu perkara merupakan petunjuk bagi permasalahan atau isu hukum (ISSUES) yang bersangkutan. Permasalahan atau isu hukum tidak akan muncul apabila tidak terjadi beberapa kejadian tertentu.
Langkah 2 : Permasalahan atau isu hukum tersebut diatur oleh suatu aturan hukum (RULES) yang berlaku. Secara mekanis, permasalahan atau isu hukum menentukan aturan hukum manakah yang akan diterapkan terhadapnya.
Langkah 3 : Bandingkan antara fakta-fakta hukum dengan aturan hukum yang berlaku, untuk membentuk sebuah analisis (ANALYSIS). Apakah fakta-fakta hukum yang terungkap memenuhi unsur-unsur aturan hukum dimaksud?

Segitiga IRAC ini pada dasarnya merupakan diagram alur sederhana yang menunjukkan bagaimana fakta-fakta hukum dapat diolah menjadi sebuah simpulan (Conclusion).
Berikutnya, sebagai pembanding bagi formula IRAC, patut pula dipertimbangkan formula kedua, yaitu formula IRFAC. Unsur-unsur formula IRFAC ini tergambar dalam sketsa berikut ini :


Dalam formula IRFAC, semua legal reasoning dipandang memiliki dan mengikuti suatu alur. Tidak ada satu pun legal reasoning (baik yang diterima maupun ditolak) yang tidak memiliki unsur-unsur atau elemen-elemen sebagai berikut :
1. Issue : Apa sebenarnya yang secara khusus diperdebatkan para pihak 
2. Rule : Ketentuan hukum apakah yang mengatur isu tersebut?
3. Facts : Fakta-fakta hukum apa yang relevan dengan aturan hukum tersebut
4. Analysis : Menerapkan aturan hukum terhadap fakta-fakta hukum
5. Conclusion : Setelah menerapkan aturan hukum tersebut terhadap fakta-fakta hukum, hasil-hasil apa yang diperoleh?

1) Issue
“Issue” yang dimaksud di sini adalah isu hukum, yaitu permasalahan-permasalahan yang terkait dengan atau diatur oleh suatu aturan hukum tertentu.
2) Rule
“Rule” di sini memiliki dua bagian penting. Hakim atau praktisi hukum yang baik harus selalu dapat menunjukkan “apa bunyi aturan hukum” yang relevan tersebut dan “darimana sumber aturan hukum tersebut”.
a) Sebutkan bunyi aturan hukumnya
b) Sebutkan sumber aturan hukumnya
3) Fact
Terdapat banyak fakta hukum yang membentuk kisah yang menjadi dasar gugatan klien. Untuk tujuan analisis hukum, fakta-fakta hukum materiel perlu digali dan terus digali. Fakta hukum materiel adalah fakta-fakta hukum yang memenuhi unsur-unsur ada dalam suatu aturan perundang-undangan.
4) Analysis
Pada tahap ini, akan dilihat apakah fakta-fakta materiel yang ditemukan berkesesuaian dengan aturan perundang-undangan yang berlaku
5) Conclusion
Kita melihat bahwa keseluruhan “unsur” dalam peraturan perundang-undangan telah terpenuhi, sehingga kita sampai pada simpulan. 

PENERAPAN FORMULA IRAC DALAM INTERPRETASI KONSTITUSI

Berbagai pemahaman teoretis sebagaimana diuraikan di atas, dapat diterapkan secara empiris terhadap perkara-perkara riil mengenai interpretasi konstitusi, yang menjadi salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Pengimplementasian 3 (tiga) karakteristik legal reasoning yang baik, mencakup craft, rhetoric dan wisdom sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dikaitkan dengan framework sistem IRAC (Issue, Rules, Analysis dan Conclusion), telah penulis coba terapkan dalam perkara 20/PUU-VI/2008 mengenai pengujian pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap pasal 12, pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 22 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, dengan pemohon dr.Salim ALkatiri.


Posisi kasus dari perkara 20/PUU-VI/2008 adalah mengenai permohonan pengujian Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Pasal 12, Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 22 ayat (1), PAsal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (2), pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, isu hukum yang harus dianalisis dalam perkara ini mencakup 3 (tiga) ISSUE hukum, yaitu :
1) Kewenangan Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disingkat Mahkamah) untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo;
2) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk permohonan pengujian pasal-pasal a quo; dan
3) Dalam pokok perkara, konstitusional tidaknya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji.

Terhadap ketiga isu hukum a quo, RULES sebagai batu uji (touch stone-nya) adalah pasal 22 ayat (1), pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Batu uji a quo dipergunakan sebagai pisau analisis untuk membedah atau menganalisis ketiga isu hukum yang ada, yaitu denga mempergunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dengan menganalisis pasal-pasal UUD 1945, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga diperoleh ANALYSIS sebagai berikut.


1. Mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi
a. Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama da terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Juncto pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
b. Bahwa yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga permohonan tersebut masih dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah.

2. Mengenai Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
Berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 adalah pihak yang menganggap adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu; a) perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b) kesatuan masyarakata hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara;
Bahwa yurisprudensi Mahkamah telah menjabarkan tentang kerugian hak konstitusional yang harus memenuhi 5 (lima) syarat adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
a) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang;
b) kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
c) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
d) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
e) apabila permohonan tersebut dikabulkan, diperkirakan kerugian hak konstitusional tersebut tidak akan terjadi.

Apabila kedua ketentuan tersebut diterapkan pada diri Pemohon, maka :
a) Pemohon tersebut termasuk pemohon perorangan warga negara Indonesia
b) Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasa 28G ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Sepanjang yang berkaitan dengan kerugian hak konstitusional Pemohon, saya berpendapat bahwa penilaian atas kerugian a quo barulah dapat dinilai setelah mencermati alasan-alasan hukum Pemohon, keterangan saksi Pemohon dan bukti surat yang diajukan Pemohon akan dipertimbangkan dan dinilai bersama-sama dengan pokok perkara

3. Mengenai Dalil-dalil Pemohon
Bahwa pemohon mendalilkan mengenai adanya pertentangan pasal 3 UU PPTK dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan mengemukakan argumentasi hukum sebagai berikut :
a) Bahwa pertama kali Pemohon ditangkap dengan alasan tidak kooperatif, sedangkan pada waktu itu sudah P-21 dan belum ada izin dari Gubernur untuk penyidikan bukan penangkapan tetapi Pemohon ditangkap dan dimasukkan penjara selama 3 (tiga) bulan lebih, sesudah itu penahanan Pemohon ditangguhkan sampai ada keputusan kasasi dan ditangkap kembali ketika Pemohon mengajukan pengujian undang-undang a quo di Mahkamah Konstitusi dan Peninjauan Kembali;
b) Bahwa Pemohon merasa telah bekerja habis-habisan menjalankan tugas kemanusiaan dalam kerusuhan di Maluku tetapi justru ditangkap demi kepopuleran jaksa dan bukan pelaku korupsi terbesar di Maluku (vide bukti P-10);

Pemohon dalam dalilnya mengenai pertentangan pasal 3 UU PTPK dengan pasal 12 dan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
a) Bahwa berdasarkan pasal-pasal a quo, Presiden berwenang menetapkan keadaan bahaya dan menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang diimplementasikan dengan diundangkan UU Nomor 23 Tahun 1959 yang menjadi dasar Presiden menetapkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2000 tentang keadaan Darurat Sipil di Propinsi Maluku dan Proinsi Maluku Utara. Dengan demikian menurut Pemohon, pasal 3 UU PTPK tidak dapat diberlakukan di Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara;
b) Bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya tersebut, Pemohon mengutip pendapat pakar bahwa dalam keadaan darurat sipil, yang haram menjadi halal, yang bukan hukum menjadi hukum, bahkan Pemohon juga mengutip kaidah hukum dalam hukum Islam sebagaimana termaktub dalam AL Quran surat Al Baqarah ayat 173, “Barangsiapa dalam keadaan darurat, diatur kehendaknya, dan tidak melampaui batas, tidak berlebih-lebihan, seimbang dengan keadaan daruratnya , maka tidak berdosa ia,” dan kaidah dalam ushul fiwh yang menyatakan “keadaan darurat menghalalkan hal-hal yang terlarang dilakukan dan tidak terlarang sesuatu jika disertai keadaan darurat dan tidak tercela apabila disertai dengan kepentingan yang mendesak.”

Pemohon dalam dalilnya mengenai pertentangan pasal 3 UU PTPK dengan pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945 mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
a) bahwa pasal 18 ayat (2) UUD 1945, Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, dan pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
b) Bahwa dengan rumusan pasal a quo, Pemohon beranggapan bahwa dalam Bupati berwenang menetapkan Keputusan Bupati dalam hal pengadaan obat-obatan dan penentuan harga obat-obatan dalam Tahun Anggaran 2001 dan 2002;

Bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya Pemohon menghadirkan dua orang saksi Moksen Jamlean dan Laila Al Amrie, yang menerangkan pada pokoknya sebagai berikut :
Lebih jauh lagi, dilakukan analisis hukum sebagai berikut :

1. Kewenangan Mahkamah
a. Berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar …. Dst” juncto Pasal 10 ayat (1) huruf b UU No.24 Tahun 2003 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat untuk …. antara lain menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap pasal 12, pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6), pasal 22 ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (2), pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo;

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
a. Bahwa syarat-syarat hukum legal standing, adalah sebagai berikut :
1) Pemohon adalah salah satu subjek hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 51 ayat (1) UU No.24 th 2003;
2) Pemohon menganggap adanya hak dan/atau kewenangan kostitusionalnya yang dirugikan oleh undang-undang yang akan diuji;
b. Bahwa Pemohon menjelaskan kualifikasinya sebagai perorangan warga Negara Indonesia dan pernah dijatuhi pidana penjara 2 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana;
c. Bahwa dengan adanya fakta hukum sebagaimana pada huruf b di atas, Pemohon beranggapan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 28D ayat (1), 28G ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1), ayat (2) UUD 1945, telah dirugikan.
d. Bahwa berdasarkan uraian pada huruf a sampai huruf c, telah ternyata Pemohon memenuhi kualifikasi pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah selama ini. Dengan demikian, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam Pengujian pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 tahun 2008.

3. Pokok Permohonan 
Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam permohonan a quo adalah penerapan pasal 3 UU No.31 Tahun 1999;
Bahwa penerapan pasal 3 UU No.31 th 1999 terhadap diri Pemohon yang menjabat sebagai Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kab.Buru yang sedang dilanda kerusuhan dalam kurun waktu 1999-2002 adalah inkonstitusional karena dalam keadaan darurat berdampak pada penegakan hukum dan keadaan darurat itu;
Bahwa menurut Pemohon ketentuan pasal a quo bertentangan dengan pasal 12 UUD 1945 mengenai keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya;
Terhadap hal tersebut, penulis berpendapat bahwa ketentuan pasal 12 UUD 1945 adalah ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menentukan bahwa syarat-syarat keadaan bahaya dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Bahwa rumusan pasal tersebut harus ditafsirkan bahwa oleh karena keadaan bahaya adalah keadaan yang luar biasa yang berdampak sangat luas bagi masyarakat maka hanya presidenlah yang berwenang menetapkan keadaan bahaya tersebut.
Bahwa oleh karena sedemikian luasnya dampak yang ditimbulkan akibat pemberlakuan dan/atau penetapan keadaan bahaya tersebut, maka syarat-syaratnya, akibat-akibatnya haruslah ditetapkan dengan undang-undang, yang berarti harus melibatkan aspirasi dari rakyat banyak yang dipresentasikan melalui wakil-wakil rakyat dan Presiden selaku pimpinan pemerintahan sebagaimana kehendak konstitusi;
Bahwa dengan demikian, pernyataan keadaan bahaya, penetapan syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya tidak ada hubungannya dengan ketentuan pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang PTPK, karena rumusan delik dalam pasal a quo ditujukan kepada semua orang dan semua subjek hukum;
Bahwa menurut Pemohon pasal a quo bertentangan dengan pasal 22 ayat (1) tentang hak Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
Bahwa terhadap hal tersebut, saya berpendapat bahwa ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 adalah pemberian hak dan/atau kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. yang berarti tidak ada lembaga lain, yang diberi hak dan/atau wewenang oleh konstitusi untuk menetapkan Perppu selain Presiden, dan kewenangan tersebut hanya dapat digunakan jika dalam keadaan kegentingan yang memaksa.
Bahwa dengan demikian, tidak ada hubungannya sama sekali antar kewenangan Presiden menetapkan Perppu dengan rumusan pidana yang diatur oleh pasal 3 UU a quo;
Bahwa menurut Pemohon pasal a quo bertentangan dengan pasal 18 ayat (2) asas otonomi dan tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintahaan daerah;
Terhadap hal tersebut, Penulis berpendapat bahwa ketentuan pasal 18 ayat (2) adalah ketentuan yang mencanangkan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur yang berarti menciptakan produk hukum dan mengurus yang melaksanakan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan berasaskan otonomi yang berarti kemandirian, keleluasaan, dan buka kemerdekaan. Dalam pasal a quo juga digariskan asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berarti daerah diikutsertakan dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat;
Bahwa dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo juga bertentangan dengan pasal 18 ayat (5) tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah juga tidak dapat diterima karena pasal 18 ayat (5) adalah politik hukum yang memberikan kewenangan yang seluas-luasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Bahwa untuk memenuhi kehendak pasal 18 ayat (5) tersebut, UU No.32 tahun 2004 telah memberikan batasan bahwa urusn-urusan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom adalah urusan-urusan pemerintahan di bidang : (1) politik luar negeri, (2) pertahanan, (3) keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiscal nasional, dn (6) agama.
Bahwa kewenangan daerah tersebut juga tidak berkaitan dengan rumusan pidana yang diatur dalam pasal 3 UU no.31 tahun 1999;
Bahwa menurut pemohon pasal a quo bertentangan dengan pasal 18 ayat (6) tentang hak daerah untuk membentuk “peraturan daerah”.
Bahwa terhadap dalil pemohon tersebut saya berpendapat bahwa sebagai implementasi otonomi daerah maka daerah berhak membentuk peraturan daerah yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Bahwa oleh karena Indonesia adalah negara kesatuan, sudah sewajarnya Pemerintah Pusat berkepentingan untuk menjaga unifikasi hukum dengan jalan merumuskan norma bahwa Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu terhadap produk hukum daerah otonom harus tunduk pada pranata pengawasan preventif dan represif.
Bahwa pranata pengawasan tersebut diperluka untuk menjaga keseimbangan antara otonomi agar tidak bergeser ke federalisme dan pengawasan yang tidak mengarah ke sentralisme.
Bahwa memang benar Bupati berhak mengeluarkan Keputusan Bupati, tetapi keputusan Bupati bahkan keputusan Presiden sekalipun tetap tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apalagi keputusan bupati tersebut ternyata telah disalahgunakan oleh Pemohon sebagaimana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bahwa terhadap dalil pemohon yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Tinggi Maluku dan Putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman pidana penjara 2 tahun kepada Pemohon dianggap bertentangan dengan :
• Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
• Pasal 28G ayat (2) “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
• Pasal 28I ayat (1), “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
• Pasal 28I ayat (2), “setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Terhadap dua hal tersebut, Penulis berpendapat :
1) Mahkamah tidak berwenang menilai putusan pengadilan;
2) Kalaupun ada kerugian yang dialami oleh Pemohon karena penerapan pasal tersebut hal itu tidak dikarenakan konstitusionalitas dari undang-undang yang diuji melainkan pada penerapan undang-undang.

Berdasarkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan a quo, dalam kaitannya satu sama lain, maka sebagai CONCLUSION, disimpulkan bahwa dalil-dalil pemohon tidak beralasan sehingga oleh karena itu permohonan harus dinyatakan ditolak.

IV. PENUTUP
Inti dari uraian dalam tulisan ini adalah bahwa penalaran hukum pada umumnya dan penalaran dalam putusan hakim pada khususnya senantiasa melibatkan kombinasi yang kompleks antara practical wisdom (phronesis) craft (techne), dan rhetoric (rhetorical). Masing-masing dari konsep tersebut memiliki tujuan, komponen, karakteristik dan ukuran keberhasilan yang berbeda-beda. Melalui kombinasi antara practical wisdom, craft, dan rhetoric ini dapat tercipta penalaran hukum yang seimbang, lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan.


Selain ketiga komponen tersebut, terdapat satu elemen yang ingin Penulis tambahkan, yaitu elemen moral atau moralitas. Penulis meyakini bahwa bekerjanya sistem penegakan hukum berdasarkan landasan moral akan menghasilkan kaca benggala kearifan. Apabila aparat penegak hukum, termasuk hakim bersedia mengenakan moral sebagai jubah yang utama (Satjipto Raharjo menyebutnya sebagai Rule of Moral), maka mutiara keadilan diharapkan akan bersinar kembali, walaupun masih redup.




Endnote

(1)   Martin P.Golding, Legal Reasonig, Alfred A.Knoff Inc.,New York, 1984, halaman 1

(2)  B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000, halaman 164.

(3) B.Arief Sidharta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum, M akalah, 2006

(4)  Tumbangnya epistemology akibat serangan Postmodernisme, misalnya, ternyata lebih banyak direspons di negara-negara Anglo Saxon daripada negara-negara bertradisi lainnya. I.Bambang Sugiharto menulis, “Tidak terlalu salah bila kita katakan bahwa kini, terutama di wilayah Anglo-Saxon, epistemology telah ‘babak belur’ mendapat serangan dari segala sudut.” Lihat I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme : Tantangan bagi Filsafat,Cet.4, Kanisius, 1996, Yogyakarta, hal.68.

(5)  Lihat Lawrence M.Friedman, American Law : An Introduction, W.W. Norton & Co., 1984, New York, hal.242-243

(6)  Dalam keluarga sistem common law tidak dikenal pembagian tegas antara hukum publik dan privat. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam buku Paul Scholten, Mr.C.Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel, W.E.J Tjeenk Willink, 1934, Zwolle, hal.34-41

(7) Sistem juri muncul dari tradisi (kebiasaan) yang kemudian dikukuhkan dalam Magna Charta, bertujuan untuk mengontrol kekuasaan the King’s Judges. Saat ini, dalam sistem hukum Amerika Serikat dikenal banyak variasi dari pranata juri ini, seperti grand jury, petit jury, coroner’s jury, dan sheriff’s jury. Agar dimensi rasa keadilan masyarakat itu dapat tercermin, komposisi juri ditetapkan harus dalam jumlah tertentu. Grand Jury misalnya, terdiri dari 12 s/d 23 orang. Namun, umumnya di pengadilan distrik negara bagian atau federal jumlah juri ini diciutkan menjadi 6 orang. Untuk efisiensi, para pihak diperbolehkan pula menetapkan sejumlah lainnya, yang kurang dari 12 orang. Lihat Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6. Ed., West Publishing, St.Paul, 1990, hal.855-857.

(8)  Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, hal.69.

(9)   Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya,”makalah yag disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Hasanuddin, Makasar, 4-5 Februari 1994, hal.1-3

(10)  Ucapan Oliver Wendell Holmes di atas seperti mengekspresikan bahwa logika tidak dapat diaplikasikan pada hukum. Padahal, ada ucapan Holmes yang menunjukkan pendapatnya yag berlawanan yaitu dalam esainya “The path of Law” (Collected Legal Papers, 1920, Hal.180). Menurutnya, “kerancuan (fallacy) yang terhadapnya saya menunjuk adalah gagasan bahwa satu-satunya kekuatan yang bekerja dalam perkembangan hukum itu adalah logika.” Itu berarti bahwa logika adalah bukan satu-satunya asas yang menentukan keabsahan dari hukum. Untuk selebihnya, tidak ada oposisi antara pengalaman (empiri) dan logika. Lihat, Hans Kelsen, Hukum dan Logika, terjemahan B.Arief Sidharta, Cet.2, Alumni, Bandung, 2002, hal.28

(11)   Tabel ini disarikan dan diolah kembali dari tabel serupa yang dikemukakan oleh B.Arief Sidharta dalam Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum, op.cit

(12)   P.S.Athiyah & R.S.Summers, Form dan Substance in Anglo-American Law: A Comparative Study of Legal Reasoning, Legal Theory, and Legal Institutions, Clarendon Press, Oxford, 1991, hal.1-2.

(13)     Brett G.Scharffs, The Washington and Lee Law Review, edisi Spring 2004.

(14)   Lebih jauh dan mendalam tentang pendekatan originalisme ini dapat dibaca dalam beberapa text books, antara lain : Keith E.Whitington, Constitutional Interpretation: Textual Meaning, Origin Intent and Judicial Review, University Press of Kansas, 1999; Interpreting Constitution:Debate over Original Intent,

(15)   Dalam sejarah interpretasi konstitusi, terdapat beragam teori tentang judicial interpretation yang sering ditetapkan pengadilan untuk menafsirkan konstitusi. Di antara teori-teori tersebut adalah : tekstualisme, originalisme, konstruksionisme kaku (strict constructionism), fungsionalisme, doktrinalisme, developmentalisme, konstektualisme, strukturalisme, atau kombinasi antara berbagai aliran pemikiran tersebut. Sebagai contoh, beberapa juri telah menafsirkan konstitusi berdasarkan wawasan filosofis mereka bahwa konstitusi itu merupakan “konstitusi yang hidup” (the living constitution), sedangkan, beberapa juri yang lain lagi menafsirkan konstitusi sebagai “konstitusi moral” (moral constitution). Pendekatan Tekstualis dan Konstruksionis Kaku (strict constructionist) dalam penafsiran konstitusi berpegang pada makna literal (makna harfiah/kata per kata) dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam konstitusi. Pendekatan ini bertentangan dengan keyakinan yang menyatakan bahwa naskah konstitusi it memiliki makna yang lebih atau kurang dari yang dinyatakan secara ekspresif oleh kata-kata dalam konstitusi tersebut. Pada intinya, di dalam menafsirkan konstitusi, pendekatan ini berpegang pada 2 (dua) prinsip, yaitu kesederhanaan (simplicity) dan kepastian (determinacy). Salah satu hakim agung Amerika Serikat yang menganut pendekatan ini adalah Hakim Agung Hugo Black, yaitu pada saat menginterpretasikan ketentuan First Amandment bahwa “Kongres hendaknya tidak menciptakan hukum …. yang membatasi kebebasan berbicara”. Ketentuan tersebut oleh hakim agung Hugo Black ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan tekstualisme atau konstruksionisme kaku, sehingga menjadi bermakna “tidak ada hukum yang membatasi kebebasan berbicara”. Prinsip kesederhanaan (simplicity) dan kepastian (determinacy) yang dianut dalam pendekatan konstruksionisme kaku dapat menimbulkan resiko dan permasalahan tersendiri. Ketentuan-ketentuan dalam naskah konstitusi, apabila dibaca sebagai unit-unit yang terikat/terpisah (units in isolation) sebagaimana diyakini oleh pendekatan konstruksionisme kaku, dapat memunculkan permasalahan, seperti ‘apakah makna dari naskah yang dibicarakan tersebut dapat ditafsirkan tanpa melihat konsteksnya?’. Kembali pada contoh di atas, sekalipun hakim agung Hugo Black menafsirkan bahwa ‘tidak ada hukum yang membatasi kebebasan berbicara’, namun jelas bahwa Black tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa pengingkaran itu termasuk dalam kategori pembicaraan yang dilindungi, atau meneriakkan kata “kebakaran!” di dalam teater atau gedung bioskop yang penuh penonton itu juga termasuk dalam kategori pembicaraan yang dilindungi. Tekstualisme memiliki filosofi penafsiran yang sama dengan konstruksionisme kaku (strict constructionism), sekalipun terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Pengikut pendekatan tekstualisme, seperti hakim agung Scalia dari Mahkamah Agung Amerika Serikat, sependapat dengan keyakinan paham konstruksionisme kaku yang menyatakan bahwa penafsiran konstitusi itu hendaknya dimulai dan berakhir pada teks konstitusi itu sendiri, tanpa harus mempertimbangkan “kehendak” dari para perumus konstitusi, filosofi yang dianut para hakim dan konsensus-konsensus dalam masyarakat. Sekalipun demikian, sejatinya terdapat dua perbedaan antara pendekatan tekstualisme dan pendekatan konstruksionisme kaku, yaitu : pertama, dalam hal apresiasi yang diberikan terhadap konteks dan: kedua, dalam hal upaya pencarian pemahaman terhadap makna bahasa konstitusi. Pendekatan tekstualisme tidak lagi terpaku pada makna harfiah atau makna kata per kata dari naskah konstitusi. Pemahaman terhadap makna tersebut tidak diperoleh dari pemahaman terhadap kata-kata sebagai unit-unit yang terikat/terpisah. Sebagai contoh, hakim agung Scalia dalam sebuah perkara yang terjadi pada tahun 1993, yaitu perkara Smith vs United Stated, menyatakan bahwa penafsiran harfiah itu juga dapat dikembangkan dari makna logis dari hukum itu sendiri. Dalam perkara tersebut, Smith ditangkap karena membeli obat-obatan terlarang, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku Smith dijatuhi hukuman yang lebih berat dari hukuman yang biasa dijatuhkan bagi mereka yang terlibat dalam jual beli obat-obatan terlarang, karena pada saat bertransaksi Smith terbukti “menggunakan senjata” (used a gun). Scalia berpendapat bahwa bahasa hukum telah dipahaminya secara logis, sehingga kata “menggunakan senjata” dapat diartikan sebagai menggunakan senjata sebagai “alat yang lazim dipakai untuk berkelahi, bertempur atau berperang”, sedangkan Smith pada saat kejadian perkara hanya menawarkan senjata kosong yang tidak berisi peluru sebagai pertukaran untuk obat-obatan terlarang yang dibelinya. Mahkamah Agung Amerika Serikat, dengan menerapkan pendekatan konstruksionisme kaku menyatakan bahwa hukuman lebih berat sudah tepat dijatuhkan pada Smith. Jadi, dari contoh kasus Smith di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan tekstualis itu mengonstruksi atau menafsirkan bahasa hukum berdasarkan makna alami dari bahasa tersebut, bukan berdasarkan makna harfiah atau makna kata per kata dari bahasa hukum itu. Argumen pokok yang dikemukakan para pendukung pendekatan tekstualisme dan konstruksionisme kaku adalah bahwa penafsiran secara tidak kaku terhadap konstitusi dapat menjadi celah atau pintu bagi hakim untuk melakukan aktivisme di dalam menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan, dan hal itu dipandang sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan kehakiman. Hal tersebut selanjutnya dapat digambarkan sebagai “membuat hukum menjadi bermakna seperti makna yang seharusnya menurut interpretasi si penafsir, bukan menjelaskan apa yang sebenarnya dikatakan oleh hukum itu sendiri”. Ini merupakan bentu “kudeta” terhadap kekuasan legislatif. Argumen lainnya yang dikemukakan oleh para pendukung konstruksionisme kaku adalah konstitusi yang hakiki dan asli sebenarnya tidak mengijinkan dilakukannya penafsiran oleh hakim terhadap konstitusi tersebut, dalam bentuk apa pun. Kekuasaan Mahkamah Agung untuk melakukan uji materiil (judicial review), dan kemudian diperluas menjadi kekuasaan untuk menafsirkan konstitusi, mula-mula dilakukan pada tahun 1803 dalam perkara Marbury vs Madison. Argumen ini dimaksudkan untuk menyangkal argumen-argumen tertentu yang dikemukakan oleh para pendukung pendekatan developmentalisme. Misalnya beberapa developmentalis mendukung doktrin “konstitusi yang hidup” (living constitution) dengan menyatakan bahwa para perumus naskah asli konstitusi telah gagal mencapai konsensus tentang bagaimana seharusnya menafsirkan konstitusi itu. Dengan kata lain, mereka ini tidak menghendaki adanya metode yang baku (fixed method) untuk menafsirkan konstitusi. Terhadap pandangan kelompok developmentalis ini, para pendukung pendekatan konstruksionisme kaku menjawab bahwa doktrin “konstitusi yang hidup” (living constitution) itu sejatinya berlandaskan pada argumen penafsiran konstitusi yang tidak didukung oleh dokumen asli konstitusi itu sendiri. Pendekatan Originalisme, menghendaki penafsiran terhadap naskah konstitusi dilaksanakan sesuai dengan kehendak atau pemahaman para pendiri negara sebagai perumus konstitusi. Para pendukung pendekatan originalisme terfokus pada upaya untuk menemukan kehendak-kehendak (subjective intentions) dari figur-figur yang merumuskan atau membingkai ketentuan-ketentuan tertentu dalam konstitusi. Mereka cenderung untuk memfokuskan perhatiannya pada pemaknaan atau pemahaman publik terhadap makna asli dari suatu ketentuan konstitusi sebagaimana dikehendaki oleh generasi yang merumuskan atau meratifikasi ketentuan konstitusi tersebut. Dengan keyakinan seperti itu, para pendukung paham originalisme tentu saja membawa resikonya sendiri, misalnya, bagaimana mereka harus menentukan apa saja yang termasuk sebagai bukti dari suatu kehendak (what counts as evidence of intent), siapa yang memiliki kehendak tersebut (whose intents counts), dan apakah kehendak yang disampaikan tersebut harus berwujud abstrak atau konkrit. Oleh karena itu, salah satu kritik paling tajam terhadap pendekatan originalisme ini adalah bahwa seorang penganut pendekatan originalis, biasanya, disamping menafsirkan suatu ketentuan konstitusi berdasarkan kehendak asli yang tersirat di balik ketentuan konstitusi tersebut, ia sebenarnya juga mengambil dan memilih penafsiran dari berbagai sumber untuk mendapatkan makna yang dikehendakinya tentang ketentuan konstitusi tersebut. Originalisme memiliki perbedaan cukup tajam dengan pendekatan tekstualisme, yaitu bahwa originalisme lebih cenderung untuk melihat dan mempertimbangkan kehendak subyektif pembuat undang-undang daripada melihat pada makna obyektif bahasa sebagaimana yang dipahami oleh siapa pun pihak ketiga yang mampu bernalar dan berpendidikan, pada saat disahkannya undang-undang tersebut. Pendekatan doktrinalisme, memfokuskan perhatiannya untuk mencari dan menemukan penafsiran-penafsiran konstitusi yang pernah ada di masa lalu kemudian dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan tertentu. Selanjutnya, penafsiran dan permasalahan khusus tersebut diorganisir sedemikian rupa menjadi satu kesatuan yang koheren, dilanjutkan dengan merumuskan solusi bagi permasalahan yang dihadapi pada masa itu, dengan memperhatikan kesatuan koheren yang telah dibentuk sebelumnya. Pendekatan doktrinalisme ini memberikan tempat yang utama bagi prinsip stare decisis, yaitu dengan berupaya untuk secara berjenjang memperluas keputusan-keputusan dan pemahaman-pemahaman yang dapat diterima sehingga dapat mencakup permasalahan-permasalahan dan kasus-kasus baru yang muncul. Dalam upaya tersebut, pendekatan doktrinalisme ini berusaha untuk menjaga kontinuitas atau kesinambungan hukum ciptaan hakim (common law), sekalipun hal itu dapat memengaruhi perubahan yang akan terjadi. Metode ini sering digunakan untuk mengajar hukum ketatanegaraan di sekolah-sekolah hukum Amerika Serika, dimana case book biasa diorganisir dan ditata secara topik per topik. Doktrinalisme, seperti halnya pendekatan-pendekatan interpretasi konstitusi yang lain, juga memiliki resiko atau kelemahan. Misalnya, pendekatan tekstualisme berpendapat bahwa pendekatan doktrinalisme telah mengalihkan perhatiannya dari konstitusi itu sendiri dan dari pandangan masyarakat tentang konstitusi. Kritik lainnya yang dikemukakan oleh hakim agung Scalia menyatakan bahwa doktrinalisme memberikan jalan bagi penerapan diskresi hakim yang terlampau besar. Developmentalisme dibangun berdasarkan keyakinan-keyakinan pendekatan doktrinalisme, yaitu dengan menerima secara berjenjang doktrin-doktrin ciptaan hakim (judge-made doctrine). Keyakinan tersebut kemudian dikembangkan lebih jauh lagi dengan memperluas ranah interpretasi, sehingga mencakup pula kejadian-kejadian historis, seperti budaya politik dan praktek-praktek informal lainnya. Para pendukung developmentalisme menolak keyakinan yang menyatakan bahwa konstitusi itu statis, dan menolak pula doktrin “konstitusi moral” (moral constitution). Mereka lebih cenderung untuk memfokuskan perhatian pada “bagaimana makna itu senantiasa berubah/berevolusi”. Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren, menganut pendekatan developmentalisme ini pada saat ia mengatakan bahwa “konstitusi itu hendaknya ditafsirkan berdasarkan standar-standar kepatutan yang senantiasa berubah yang menandai perkembangan dan kemajuan masyarakat yang telah matang/dewasa”. Dengan demikian, para pendukung developmentalisme memiliki kesamaan pandangan dengan teori konstitusi yang hidup (the living constitution), yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal, konstitusi itu bersifat dinamis. Namun, karena keyakinan seperti inilah maka pendekatan developmentalisme banyak mendapat kritik dari berbagai titik, seperti halnya pendekatan doktrinalisme. Misalnya, pendekatan developmentalisme dinilai tidak dapat berbuat banyak untuk menjaga stabilitas pemaknaan konstitusi karena komitmen pendekatan ini pada apa yang disebutnya sebagai “perubahan konstitusional”, tidak hanya yang telah terjadi di masa lalu hingga saat ini namun juga mencakup perubahan-perubahan yang terjadi pada saat ini hingga masa-masa yang akan dating dan belum diketahui batasannya (unknown future). Singkatnya, pendekatan developmentalisme dikritik karena telah membuat konstitusi menjadi “tidak berarti apa-apa” (mean nothing) karena pendekatan ini berpendirian bahwa konstitusi itu dapat dimaknai “apa pun”. Pendekatan Kontektualisme, sama halnya seperti pendekatan originalisme dan tekstualisme, pendekatan ini sangat memerhatikan makna asli dari naskah konstitusi itu sendiri, yaitu sebagaimana yang dikehendaki para perumus naskah konstitusi itu. Namun, kontektualis tidak menitikberatkan pada kehendak subyektif para perumus konstitusi melainkan berupaya untuk mengujinya pada konteks yang lebih luas dimana suatu ketentuan konstitusi itu hanya dapat dipahami apabila dikaitkan dengan konteksnya. Konteks ini dapat bersifat facial , yaitu menguji mengapa suatu suatu ketentuan konstitusi ditempatkan pada posisinya yang seperti itu di dalam kesatuan dokumen konstitusi; atau, dapat pula bersifat historis, yaitu menguji konteks historis yang luas dan panjang di balik perumusan ketentuan konstitusi tersebut, dengan tujuan untuk menemukan kemungkinan batas terluas dari kehendak perumus konstitusi. Kontektualisme ini merupakan teori interpretasi konstitusi utama yang diterapkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat antara tahun 1880-an hingga 1920-an, dan telah menghasilkan putusan-putusan seperti dalam perkara Plessy vs Ferguson (yang mendukung kebijakan segregasi/pemisahan berdasarkan ras karena berdasarkan pertimbangan konteks historis yang luas, thirteenth amandment dan fourteenth amandment dianggap tidak mendukung pemikiran bahwa keduanya dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemisahan rasial oleh negara). Perkara lainnya Lochner vs New York (membatalkan undang-undang tentang upah minimum karena dianggap melanggar makna kontekstual dari kalimat “hak umum untuk membentuk kontrak yang terkait dengan bisnisnya” yang ada dalam the Fourteenth Amendment; dan Bailey vs Drexel Furniture Co (membatalkan undang-undang tentang pemungutan pajak terhadap pekerja anak dengan pertimbangan bahwa dalam konteksi Artikel 1 Konstitusi Amerika Serikat, oleh kehendak para perumus konstitusi adalah pajak tidak dimaksudkan untuk berfungsi seperti regulasi). Misalnya, salah satu pendukung utama kontekstualisme historis, yaitu Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat William Howard Taft, menggunakan konteks historis yang luas dari The Fourth Amendment untuk memutus perkara Olmstead vs United States dengan menyatakan bahwa penyadapan telepon tidak termasuk dalam tindakan yang harus dibatasi berdasarkan ketentuan The Fourth Amendment karena bukan merupakan bentuk gangguan, atau penerobosan atau penyusupan secara fisik. Namun, terjadi penafsiran yang berbeda dalam perkara Katz vs United States dimana hakim menggunakan pendekatan developmentalisme. Dengan menggunakan standar kepatutan yang berbeda dan telah berubah, hakim sampai pada kesimpulan bahwa the Fourth Amendment melindungi rakyat tidak hanya dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fisik, namun, penyadapan telepon juga termasuk sebagai tindakan yang harus dibatasi berdasarkan ketentuan The Fourth Amendment. Para penentang pendekatan kontekstualisme murni melarang konstitusi untuk diadaptasikan dengan berbagai perkembangan sosial, teknologi dan sosial yang berbeda. Menanggapi kritik ini, para pendukung kontekstualisme menunjuk artikel 5 Konstitusi AMerika Serikat, dimana di dalamnya para perumus konstitusi memberikan kesempatan dan sarana untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi sehingga konstitusi dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan jaman. Pendekatan strukturalisme mengusulkan suatu pendekatan untuk memutus perkara-perkara sulit dengan melihat panduan umum yang diberikan konstitusi mengenai struktur lembaga-lembaga negara (offices) dan kekuasaan (powers). Hal ini terkait erat pula dengan facial contextualism sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Adanya struktur dan kekuasaan tersebut merupakan perwujudan dari demokrasi atau prinsip representasi, atau pemerintahan konstitusionalis. Pendekatan strukturalisme ini berbeda dengan pendekatan tekstualisme atau konstruksionisme kaku, karena menurut pendekatan strukturalisme tidak ada satu pun dari gagasan-gagasan struktural utama yang ada dalam konstitusi , seperti : pemisahan kekuasaan, checks and balances, federalisme, demokrasi atau hak-hak fundamental yang secara ekspresif disebutkan di dalam naskah konstitusi. Para pendukung strukturalisme menjelaskan dan menjustifikasi keyakinan mereka dengan mengajukan klaim tentang pemahaman yang cukup dan benar tentang struktur ketatanegaraan. Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall menerapkan pendekatan strukturalisme pada saat menyidangkan perkara McCulloch vs Maryland yang membahas tentang konsepsi hubungan antara pemerintah federal – negara bagian. Pendekatan strukturalisme ini dikritik karena dianggap terlalu subyektif, tidak memiliki landasan formal yang kuat karena tidak memiliki dukungan tekstual, kontekstualdan historis yang cukup. Penjelasan mengenai masalah interpretasi konstitusi (constitutional interpretation) ini dapat dibaca pula dalam laman Wikipedia, tentang Constitutional Interpretation.

(16)   Peter Suber, Learn the Secret to Legal Reasoning: The IRAC Formula, Earlham University Press, Earlham, 2006.

(17)   K.Krasnow Waterman, Legal Reasoning, North Western University, 2006.