Sunday, November 30, 2008

Masyarakat Hukum Adat

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Terkait dengan hal itu, Jimly Asshiddiqie dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis menyatakan bahwa salah satu bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum adalah ditentukannya masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengkajian undang-undang terhadap UUD 1945. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Artinya, menurut Jimly Asshidiqqie, untuk dapat menjadi pemohon pengujian undang-undang (UU), kelompok masyarakat adat itu haruslah (i) termasuk ke dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum adat; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri masih hidup; (iii) perkembangan kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud sesuai dengan perkembangan masyarakat; (iv) sesuai pula dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (v) diatur dalam UU. Tentu perlu diperjelas pula kelompok masyarakat yang manakah atau yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan mana yang bukan.

Jimly kemudian berpendapat bahwa harus pula dibedakan dengan jelas antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat itu sendiri. Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu community atau society, sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, kesatuan masyarakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu.

MK dalam pertimbangan putusan perkara 31/PUU-V/2007 tertanggal 18 Juni 2008 yang kemudian diikuti putusan perkara 6/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Juni 2000 berpendapat bahwa menurut kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat (i) teritorial, (ii) genealogis, (iii) fungsional.
Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah, sedangkan ikatan masyarakat hukum adat yang bersifat fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali. Sementara itu, kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial bertumpu kepada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan dan sebagainya.

Karena Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat & prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka MK menentukan kriteria atau tolok ukur terpenuhinya ketentuan UUD 1945, yaitu bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut : 1. Masih hidup; 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 4. Ada pengaturan berdasarkan undang-undang.

Lebih lanjut menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.

MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut :
1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.